Home Meja Kerja Reservasi dan Deklarasi dalam Konvensi Anti Penyiksaan oleh Indonesia

Reservasi dan Deklarasi dalam Konvensi Anti Penyiksaan oleh Indonesia

2 comments

Tulisan ini secara singkat akan mengangkat persoalan reservasi dan deklarasi dalam Konvesi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) ditanda-tangani oleh Indonesia pada 23 Oktober 1985. Konvensi ini kemudian diratifikasi pada 27 Nopember 2006 melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1998. Walaupun telah di ratifikasi, Indonesia melakukan reservasi dan deklarasi terhadap beberapa pasal di dalam konvensi tersebut.
Berdasarkan dokumen yang didaftarkan kepada PBB, Indonesia melakukan deklarasi pada pasal 20 ayat 1,2 dan 3.

“The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2, and 3 of article 20 of the Convention will have to be implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.” ((Treaty Bodies Database – http://www.unhchr.ch))

Pasal yang menjadi keberatan tersebut berbunyi

Pasal 20

  1. Dalam hal Komite menerima informasi terpercaya yang menurut Komite mengandung petunjuk yang cukup beralaan bahwa penyisaan sedang dilakukan secara sistematik di wilayah suatu Negara Pihak, Komite dapat mengundang Negara Pihak itu untuk bekerjasama dalam memeriksa kebenaran dari informasi tersebut dan untuk keperluan ini mengajukan observasi berkenaan dengan informasi tersebut.
  2. Negara Pihak dan informasi terkait lainnya yang dimiliki oleh Komite-Komite dapat memutuskan, jika hal itu dibenarkan, untuk menugaskan seorang atau lebih anggotanya untuk mengadakan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite.
  3. Dalam hal suatu penyelidikan yang diadakan sesuai dengan ayat (2) Pasal ini, Komite harus mengupayakan kerjasama dari Negara Pihak yang bersangkutan. Melalui persetujuan dengan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan kewilayah Negara Pihak tersebut.

Deklarasi terhadap pasal 20 menegaskan bahwa Indonesia tidak mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan untuk melakukan penyelidikan jika ada petunjuk yang kuat bahwa telah atau terus terjadi penyiksaan secara sistematik di wilayah Indonesia serta menyatakan bahwa hal-hal yang diatur dalam pasal 20 ayat 1, 2, dan 3 (prosedur penyelidikan) dari Konvensi hanya dapat diimplementasikan jika patuh pada kedaulatan (sovereignty) dan integritas teritorial Indonesia. ((Agung Yudhawiranata, Eksplorasi Intrumen HAM Internasional)). Persoalannya adalah, jika Komisi Anti Penyiksaan tidak diberikan kewenangan penyelidikan, maka terdapat terbuka kemungkinan Indonesia dapat lepas dari tanggung jawab terhadap dunia internasional. Sebagai contoh, laporan Manfred Nowak, Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan di Indonesia dianggap tidak valid karena tidak melibatkan beberapa pihak dari pemerintah Indonesia.
Sementara itu, Indonesia juga melakukan reservasi terhadap pasal 30, ayat 1 mengenai persoalan perselisihan antara negara.

“The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.” ((Treaty Bodies Database – http://www.unhchr.ch))

Pasal 30, ayat satu berbunyi

  • Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, atas permintaan salah satu dari negara tersebut, diajukan kepada arbitrasi. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal diajukannya permintaan untuk arbitrasi para pihak itu tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai organisasi arbitrasi, salah satu dari para pihak itu dapat meminta Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan Mahkamah tersebut.

Reservasi terhadap pasal 30 ayat 1 Konvensi, artinya segala perselisihan Indonesia dengan Negara Pihak lain yang berkaitan dengan penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, tidak dapat diajukan kepada arbitrasi hanya oleh salah satu pihak, melainkan harus atas kesepakatan kedua belah pihak yang bertikai. Indonesia juga tidak mengakui yurisdiksi International Court of Justice untuk menyelesaikan perselisihan tersebut jika jalur arbitrasi gagal. ((Agung Yudhawiranata, Eksplorasi Intrumen HAM Internasional))

You may also like

2 comments

nti 23/12/2008 - 16:07

saya ingin tahun mengenai definisi dari deklarasi dan reservasi?
dan apa latar belakang lahirnya konvensi anti penyiksaan?
terima kasih

Reply
Syaldi Sahude 29/12/2008 - 11:31

Untuk mengetahui perbedaan definisi dan reservasi, silahkan melihat ke kategori Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu artikel sudah dijelaskan. Kalau latar belakang konvensi, sedang aku susun… So, tunggu aja…

Reply

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy