Bom kembali meledak di Jakarta! Aku baru terbangun dari tidur saat temanku memberikan informasi bahwa di beberapa tempat terjadi ledakan bom. Aku termenung, mudah-mudahan ini hanya mimpi yang baru saja aku alami dan segera hilang. Ternyata harapanku meleset! Peristiwa tersebut memang terjadi.
Hari ini, sekitar pukul 7 pagi terjadi ledakan yang diduga berasal dari bahan peledak dengan kekuatan yang tinggi di Hotel J.W Marriot dan Ritz Carlton. Akibatnya, sampai saat ini sudah tercatat 9 orang tewas dan puluhan lainnya menderita luka-luka. Tak pelak lagi, hampir semua media memberitakan tentang peristiwa ini.
Tidak sedikit pihak yang kemudian ‘bermain’ dengan peristiwa ini. Dari teman-temanku, berbagai teori konspirasi kemudian muncul. Bukannya membuatku tenang, malah teori-teori ini semakin membuatku pusing. Ditambah lagi pernyataan dari para elite politik yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan membuat situasi seolah dalam keadaan yang sangat genting. Bukankah seharusnya yang kita lakukan adalah membuat kondisi menjadi tenang sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat?
Sambil menikmati teh yang makin terasa pahit ditemani berita tentang peledakan tersebut membuatku termenung. Aku teringat saat bersama dengan teman-teman di Tim Relawan untuk Kemanusiaan melakukan beberapa upaya investigasi dan pendampingan korban bom Malam Natal 2000 dan Marriot.
Saat banyak pihak berbicara dan berpolemik tentang motif dan siapa pelakunya, kami masih terus mencoba mencari tahu fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Tidak ketinggalan beberapa LSM yang kemudian membuat berbagai pernyataan pers mulai dari mengutuk hingga menuntut tanggung jawab negara. Sayangnya, upaya tersebut hanya berhenti di pernyataan pers saja. Investigas yang dilakukan hanya mengandalkan data yang dikumpulkan dari potongan berita atau informasi analisis politik yang berasis pada teori konspirasi. Sementara kami percaya bahwa faktalah yang akan memberikan realita sesungguhnya
Dalam setiap peristiwa, korban selalu menjadi hal paling pertama dibicarakan dan paling cepat dilupakan. Ini adalah sebuah kenyataan yang terjadi. Dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib, terjadi kriminalisasi terhadap korban. Ini kami temui di beberapa korban yang saat menjalani pengobatan dipaksa untuk memberikan keterangan bahkan dicurigai sebagai pelaku. Ini diperkuat oleh pernyataan kepolisiaan pada saat ini yang mengatakan bahwa ada korban yang diduga menjadi pelaku. Ironisnya, saat polisi tidak berhasil menguaknya, tidak ada satu itikad baik untuk merehabilitasi nama para korban.
Saat peristiwa tersebut telah lapuk dimakan oleh isu yang lain, korban dan keluarganya tetap harus menanggung dampak dari peristiwa tersebut. Mereka yang kehilangan anggota keluarganya harus menanggung trauma dan kehilangan. Yang cukup berat adalah mereka yang kehilangan keluarga yang menjadi penopang hidup mereka. Permasalahan ekonomi harus mereka hadapi.
Untuk mereka yang luka-luka, masalahnya juga tidak sedikit. Walaupun pemerintah saat itu menjamin bahwa biaya pengobatan akan ditanggung sepenuhnya, namun dalam prakteknya berbeda. Luka-luka yang dialami oleh rata-rata membutuhkan terapi lanjutan agar bisa kembali pulih. Mereka harus menanggung biaya rehabilitasi mereka yang tentunya jauh lebih mahal. Menurut pihak rumah sakit, pemerintah hanya menanggung biaya pengobatan saja!
Seharian ini aku mengikuti dinamika di sekitarku. Kuputuskan untuk menjauh sejenak dan mulai menulis. Tanpa menafikan bahwa ada berbagai teori dan segala intrik politik, aku ingin mengajak sahabat dan rakyat Indonesia untuk berkaca pada wajah korban. Mereka adalah potret nyata dari setiap tragedi yang terjadi di negeri ini. Jangan lupakan mereka.
Aku teringat satu kalimat dari seorang keluarga korban bom malam natal “Kami tidak ingin peristiwa seperti ini menimpa orang lain.”