Suatu hari, seorang teman dari jaringan dokumentasi mengundangku untuk datang ke Jenewa, Swiss untuk mengikuti satu kegiatan terkait dengan dokumentasi hak asasi manusia. Dengan tergagap dan sedikit bingung, aku kemudian setuju untuk ikut. Maka mulailah persiapan seperti mengurus paspor dan visa, mencari pinjaman baju musim dingin serta masalah printil lainnya. Maklum, ini kali pertama aku keluar negeri!
Pada 12 Januari 2008, saatnya untuk menempuh perjalanan panjang. Jika dihitung dengan transit, waktu yang akan ku tempuh sekitar 16-17 jam! Hmmm…aku sendiri tidak bisa membayangkan betapa membosankannya perjalanan ini. Setelah berurusan dengan imigrasi dan keamanan bandara, aku kemudian menumpang pesawat SQ 961 dari Jakarta menuju ke Singapura. Ketika tiba di bandara Changi, Singapura, aku seperti orang kesetanan karena hanya punya waktu satu jam untuk pindah pesawat. Padahal bandara Changi begitu besar sehingga agak membingungkan. Aku melihat ada beberapa tentara dengan senjata lengkap berjaga-jaga di beberapa tempat. Hmm… cukup aneh buatku. Apakah Singapura tidak punya Polisi?
Akhirnya dengan modal bertanya, aku sampai juga di gate. Nah, di sini nih aku dapat pengalaman yang kurang enak dari pihak keamanan bandara Changi. Saat boarding, tiket dan pasporku diperiksa oleh dua orang petugas, perempuan dan laki-laki. Mereka memberikan pertanyaan standar, mau kemana (padahal sudah tertera di tiket, buat apa bertanya lagi?) dan urusan apa. Ya aku jawab, “mau ke Swiss, saya akan mengikuti pelatihan”. Nah, sambil melihat visa dan tiket, mereka kemudian bertanya lagi “siapa yang mengundang?”. Nah lho, “apa urusanmu?” aku bertanya dalam hati. Aku menyebutkan nama lembaga yang mengundangku dan sudah pasti mereka tidak bakal mengerti. Mereka kemudian meminta “any document” yang dapat memberikan bukti bahwa saya diundang? What?! Pengen marah… “Untuk apa?” Aku balik bertanya. “Toh aku akan ke Swiss, bukan ke Singapore” tukasku. Dia berusaha menjelaskan tapi tetap saja tidak masuk akal buatku. Daripada lama bersitegang, aku keluarkan saja invitation letter yang aku terima via e-mail. Tentu saja dengan membongkar tas yang sudah aku kemas dengan rapi. Yang lucu, mereka memeriksa undangan tersebut memakai kaca pembesar. Padahal, sudah jelas itu bukan undangan asli melainkan hasil printing dari e-mail. Aku bertanya “apa yang anda cari?” Mereka menjawab dengan senyum tidak jelas dan mempersilahkan aku masuk ke ruang tunggu.
Aku ingin memastikan apakah prosedur tersebut menjadi standar di sini. Dengan seksama, aku memperhatikan beberapa orang yang masuk setelahku. Aku memperhatikan 10 orang yang boarding, dan mereka hanya diminta menunjukkan tiket dan paspornya, tanpa ditanya! Bener-bener dah… aku merasa dilecehkan oleh mereka! Kalau kata seorang teman, “tampang loe kayak TKI (tenaga kerja Indonesia) sih…!” Lah, memangnya ada perbedaan antara TKI dengan orang lain? Aku beli tiket, ada surat-surat resmi… “so what’s the different?”
Setelah menunggu sekitar 15 menit, pesawat LX 183 berangkat. Maka dimulailah perjalanan panjang selama 14 jam. Pesawat sempat transit selama 45 menit di Bangkok. Aku memilih tetap di pesawat dan tidur. Maklum, saat itu sudah waktu tidur menurut jam Indonesia… Tidak banyak yang aku ceritakan saat berada di dalam pesawat. Badanku yang sedang bermasalah (masuk angin) ditambah sakit kepala memaksaku untuk segera tidur.
Aku terbangun pada pagi hari, waktu setempat. Menurut GPS yang terpampang di layar, pesawat ini sudah berada di atas wilayah udara Afghanistan. Berarti masih cukup lama baru sampai ke tujuan. Setalah sarapan, nonton film dan mendengarkan satu album Joan Baez, aku memilih tidur lagi.
Aku terbangun lagi saat pesawat telah mendekati Zürich Airport. Itu berarti sebentar lagi aku akan kebingungan lagi di Bandara yang cukup besar. Untungnya, dalam in-flight magazine menjelaskan cara mencapai gate yang aku tuju. Santai…
Pesawat akhirnya mendarat tepat waktu, 06.15 waktu setempat. Bergegas aku menuju gate ganti pesawat menuju Jenewa. Cuaca yang dingin mulai menyergap saat aku turun dari pesawat. menurut perkiraan cuaca yang aku pegang, suhu di luar bandara sekitar 5 derajat celcius. Aku mulai menggunakan jaket, syal, dan sarung tangan. Menurut itinerary yang aku pegang, penerbangan ke Jenewa membutuhkan sekitar 45 menit. Artinya, tidak lama lagi aku bakal sampai di tujuan. Ada yang lucu dalam perjalanan menuju gate tempat ku boarding. Tidak jauh berbeda dengan di Singapura, aku harus naik semacam skytrain untuk pindah terminal. Dalam skytrain tersebut aku mendengar suara-suara sapi yang membuatku dan beberapa penumpang lainnya tertawa kecil.
Tepat pukul 07.00, pesawat LX 1334 take-off. Hari masih gelap, matahari belum menampakkan diri. Setelah 10 menit mengudara, pemandangan yang indah dari pengunungan Alpen mulai terlihat. Walaupun tidak terlalu jelas, hamparan salju yang putih membentang… Hmm, indah betul…! Aku berharap bisa melihatnya dari dekat saat sampai di Jenewa.
Akhirnya, aku sampai di Geneve Cointrin, bandara Jenewa. Setelah mengambil bagasi, aku kemudian menuju ke stasiun kereta yang masih berada dalam kawasan bandara. Sampai di gerbang imigrasi, petugasnya hanya melihat paspor, memberikan stempel dan kemudian mengucapkan selamat datang. Hmm… berbeda sekali dengan Singapura…
Selanjutnya, aku harus menaiki trem dengan nomor 13 atau 15 yang mengarah ke Places Des Nations. Nah, disini gaya orang udik mulai terlihat. Tanya ke beberapa orang lewat ternyata tidak membantu karena mereka hanya bisa berbahasa Perancis dan Jerman. Aku kemudian membeli tiket tram di mesin otomatis seharga 3 CHF.
15 comments