Alkisah, di sebuah pasar terjadi pertengkaran kecil antara penjual sayuran dan seorang ibu pembeli. “Harganya kok naik sih bang, jangan naikin harga seenaknya dong”. “Aduh, ibu ini gimana toh, kan kemarin harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada naik” timpal si pedagang. “kan tidak ada hubungannya?” sergah sang ibu. “Lha, emangnya kita ngangkut sayuran ini pake dokar, jelas dong ada hubungannya. Angkutan udah pada naikin tarif, kalau saya tidak naikin, mo’ makan apa anak bini saya?” balas sang pedagang dengan muka yang rada sengit.Kejadian ini mungkin kerap kali terjadi di berbagai pasar sejak pemerintah mengeluarkan keputusan untuk menaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik, dan Telepon. Keputusan pemerintah yang menimbulkan berbagai pendapat ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2003. Kenaikan harga ini seakan di”sambut” dengan tiupan terompet dan peta kembang api.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga ini mulai tahun 2000. Jika kita cermati, kenaikan BBM sejak tahun 2000 hingga tahun 2003 mencapai lebih dari 100%, khusus minyak tanah, kenaikan mencapai 105% sedangkan minyak solar mencapai 300%. Kenaikan tarif listrik, porsentasenya memang tidak terlalu besar tetapi akan terjadi kenaikan setiap tiga bulan sebesar 11% yang kalau dijumlah akan mencapai 45% dalam setahun. Untuk tahun ini, kenaikan tarif telepon khususnya abodemen dan percakapan lokal naik sebesar 30%.
Menurut beberapa menteri, keputusan pemerintah ini telah diperhitungkan dengan seksama, baik dampaknya ke masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah melalui beberapa menterinya, menyatakan bahwa tindakan ini di lakukan sesuai dengan Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang bertujuan untuk memajukan taraf kehidupan masyarakat. Salah satu isi dari Propenas adalah melakukan pengurangan subsidi terhadap ke tiga sektor ini secara berkala hingga tahun 2004. Yusuf Kalla, Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat mengatakan bahwa kenaikan harga ini merupakan konsukensi dari pengurangan subsidi. Menurutnya, subsidi tersebut akan dialihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Siapa yang terkena dampaknya?
Sebuah artikel di majalah Tempo mengungkapkan bahwa kenaikan tarif ini tidak berdampak langsung kepada masyarakat miskin namun cenderung lebih merugikan para pengusaha dan masyarakat menengah. Menarik memang untuk dikaji, namun di lain sisi pendapat ini ada benarnya. Mari kita lihat bersama siapa yang menjadi pengguna aktif dari ketiga sektor ini, jawabannya pasti adalah dunia usaha dan kelas menengah ke atas. Mereka-lah yang mengalami dampak langsung dari kenaikan harga ini, bukan masyarakat miskin.
Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat miskin tidak terkena dampaknya. Kenaikan harga ini seperti efek domino dan saling mempengaruhi antara sektor. Efek ini pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat miskin. Misalnya, kenaikan harga BBM dengan sendirinya memicu kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum. Seperti perbincangan di awal tulisan ini sangat jelas menggambarkan keterkaitan antara kenaikan BBM dan kebutuhan pokok lainnya.
Sepertinya pemerintah telah salah atau “sok tahu” dengan mengatakan bahwa semua dampaknya telah diperhitungkan. Kenyataan dilapangan berbicara lain, seperti apa yang dialami oleh para nelayan di Indonesia. Akibat mahalnya harga minyak solar, banyak diantara mereka yang tidak turun melaut. Sementara usaha kecil seperti pabrik tahu dan industri rumah tangga lainnya harus berlomba untuk menaikkan harga untuk menutup biaya produksi mereka. Masyarakat pada umumnya harus segera mengencangkan ikat pinggang akibat dihimpit oleh naiknya harga semua kebutuhan pokok.
Argumentasi pemerintah bahwa subsidi tersebut tetap akan dinikmati oleh masyarakat miskin seakan menjadi mentah. Mengapa tidak, mari kita melihat ke belakang beberapa program serupa yang pernah dilakukan oleh pemerintah dapat diakatakan gagal total. Misalnya, dana Jaring Pengaman Sosial yang ber-trilyun rupiah “bocor” ke sana kemari dan tidak tepat sasaran. Harus kita ingat juga bahwa dibalik kenaikan ini, menumpuknya utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor pendukung utama yang memicu kebijakan ini. Pertanyaannya sekarang, siapa yang menikmati utang luar negeri itu, apakah masyarakat kecil atau konglomerat?
Reaksi masyarakat
Sudah jatuh, ketimpa tangga pula sepertinya tepat untuk mengungkapkan kondisi masyarakat saat ini. Masyarakat saat ini harus menanggung utang luar negeri yang tidak mereka nikmati dengan membayar berbagai bentuk pajak pencabutan subsidi di berbagai bidang di tambah dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kondisi ini jelas memicu berbagai reaksi dari masyarakat yang mengecam kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat. Berbagai demonstrasi menentang kenaikan harga dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Demonstrasi seperti ini terjadi hampir di semua kota di Indonesia. Beberapa pendapat bahkan mengancam akan melakukan mogok nasional dan memboikot dengan tidak membayar pajak. Sangatlah wajar tindakan ini, berbagai kalangan intelektual juga berpendapat bahwa kebijakan perlu ditinjau ulang oleh pemerintah.
Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat juga bereaksi dengan kenaikan ini. Beberapa anggota DPR berpendapat bahwa pemerintah harus menunda kenaikan harga ini sebab menyulitkan masyarakat. Namun timbul pertanyaan kembali terhadap sikap “baik” dari wakil rakyat kita, kalau memang mereka berpihak pada masyarakat, mengapa mereka bisa meloloskan kebijakan ini? Toh, setiap keputusan pemerintah harus disetujui atau diketahui oleh DPR, lalu saat pemabahasan keputusan ini apa yang mereka lakukan, apakah tidur seperti yang dikabarkan oleh berbagai mass media atau diam karena telah mendapat uang “saku”. Entahlah tapi yang jelas bahwa reaksi mereka tidak lepas dari akibat tekanan masyarakat yang mempertanyakan keberpihakan mereka.
Tindakan ini seperti ingin melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah. Namun pemerintah kemudian berdalih bahwa keputusan ini telah dikonsultasikan kepada DPR yang kemudian disepakati. Lalu siapa yang sebenarnya yang berwenang, pemerintah atau DPR jika saling tuding.
Demi rakyat atau demi …?
Kenaikan berbagai harga ini tidak bisa kita lepaskan atau dipandang terpisah dari krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1998. Terkuaknya kebusukan orde baru pada saat itu juga membongkar satu kenyataan yang harus kita pikul bersama, kita telah “berutang” ke negara-negara donor yang selama ini memberikan pinjaman kepada rejim orde baru. Jumlah USD. 400 trilyun bukan jumlah yang sedikit namun kemana semua uang tersebut jatuh? Mungkin ada baiknya kalau kita menanyakannya pada “pemain” di masa orde baru dan tentu saja, kepada pemberi pinjaman seperti International Monetary Foundation (IMF), Bank Dunia, Asian Development Bank dan negara yang tergabung dalam G-8.
Terpuruknya dunia ekonomi pasca 1998 membuat Indonesia seperti kapal yang hampir karam. Utang luar negeri Indonesia yang saat itu juga telah jatuh tempo membuat Habibie, presiden pada saat itu kelimpungan. Pemerintah kemudian meminta perpanjangan waktu yang disambut “baik” oleh IMF. Tidak hanya sampai disitu saja, pemerintah meminta pinjaman baru dengan dalih untuk membantu keterpurukan ekonomi bangsa dalam bentuk BLBI dan lainnya yang kita sudah tahu hasilnya.
Mulai dari sinilah, babak baru dari penderitaan dimulai. IMF kemudian memberikan beberapa persyaratan kepada pemerintah untuk mendapatkan perpanjangan waktu dan pinjaman baru. Salah satu syaratnya adalah dicabutnya subsidi beberapa sektor dan memberikan keringanan/kemudahan kepada investor asing yang mempunyai investasi di Indonesia. Hal inilah yang menjadi pemicu berbagai kebijakan yang memberatkan rakyat.
Saat ini, berbagai tanggapan dari para politikus kita menyalahkan pemerintahan saat ini. Sangat sedikit yang mencoba menarik ke belakang dan menyelesaikan akar pemasalahannya. Yang jelas siapa pun yang akan menjadi pimpinan pemerintahannya tidak akan sanggup menyelesaikan permasalahan ini tanpa melihat akarnya. Yang harus kita waspadai bersama saat ini adalah campur tangan negara-negara kaya yang bertujuan untuk memuluskan langkah mereka dalam AFTA yang mulai berlaku. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa IMF telah meminta keringanan bagi investor asing
Hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah menolak kebijakan pemerintah untuk menaikkan BBM, TDL dan Telpon dan beberapa tarif lainnya yang tinggal menunggu ketuk palu dan tanda-tangan. Bagaimana caranya? Mari kita pikirkan bersama.
Ditulis, 12 Januari 2003
385
previous post