Hmm… masa sudah menyentuh dinihari. Mata ini masih juga sulit dipejamkan untuk sekejap. Sudah dua minggu ini aku berpikir tentang satu hal yang selalu mengganggu salah satu ruang dalam pikiranku.
Beberapa bulan yang lalu-aku tidak ingat persis kapan tepatnya-aku memutuskan untuk membeli sebuah music player. Sebenarnya, tidak ada niat untuk membeli barang yang cukup mewah yang tentunya agak sulit terjangkau oleh kantongku yang rada ngepas. Akan tetapi, sejak aku mulai dikontrak untuk bekerja di satu kegiatan yang menuntutku sering bepergian, aku mulai merasakan membutuhkan sesuatu yang bisa menemaniku dalam perjalanan yang membosankan. Ditambah lagi, perjalanan membosankan yang aku harus tempuh dari sudut ke sudut yang lain di Jakarta membuatku harus mencari sesuatu yang dapat menemaniku. Kuputuskan kemudian membeli sebuah music player dengan merek yang cukup terkenal. Tak perlu kusebutkan mereknya, aku sudah membeli barangnya, masak aku harus mempromosikannya lagi.
Sejak saat itu, barang ini selalu menemaniku. Ke kampus, ke pertemuan, ke tempatku bekerja, pokoknya ke manapun bahkan sampai buang air besar. Aku menikmati betul alunan suara yang diproduksi oleh barang mewah yang menggiurkan ini. Perjalanan jauh pun ku tempuh dengan riangnya. Tinggal pencet tombol, pasang earphone, kemudian musik jazz dan rock pun berseliweran di telingaku. Perjalanan di jalan Jakarta yang selalu macet hingga perjalanan ke ujung Indonesia, Papua yang minta ampun lamanya, dapat kunikmati. Begitu praktis, dengan banyak kegunaan. Itulah pikiranku saat menggunakannya selama sebulan. Suara bising jalanan Jakarta pun kalah dengan alunan musik Chumbawamba yang kerap ku dengar. Tanpa harus terganggu dengan suara pengamen, aku dapat menikmati alunan musik klasik Mozart yang selalu mengundangku untuk merasa lepas. Komposisi musik Anane yang begitu dinamis membuatku lupa dengan sumpeknya bis kota dan celotehan para penumpangnya. Bahkan, aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
Akan tetapi, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam keseharianku. Pelan tapi pasti, aku mulai merasakan kehilangan kepekaan. Dulu, aku masih dapat mendengarkan apa yang diperbincangkan oleh penumpang bus. Mulai dari permasalahan rumah tangga hingga isu politik yang tengah berkembang. Ada begitu banyak ragam dinamika kehidupan masyarakat yang lepas dari pengamatanku karena asyik dengan “duniaku” sendiri. Inikah yang dikatakan gejala individualisasi di tengah kota metropolitan? Mungkin apa yang aku pikirkan ini salah, tapi inilah yang aku rasakan. Pertanyaan pun muncul, apakah ini sekedar penasaran atau memang sebuah realita sosial yang sedang berkembang? Selama beberapa hari aku putuskan untuk tidak menggunakan gadget ini. Kuperhatikan sekelilingku, yup… hal ini memang terjadi. Walaupun tidak drastis, tapi proses itu terus terjadi. Seperti bola salju yang menggelinding, melindas aral yang melintang.
Perkembangan teknologi telah menyediakan begitu rupa layanan yang membuat seseorang untuk nyaman dengan dirinya. Telepon selular keluaran terbaru meyediakan berbagai fasilitas, tidak hanya untuk komunikasi, tapi juga untuk mendengar musik maupun menonton film. Alamak, semua hal yang kita butuhkan seakan-akan terpenuhi oleh benda mungil ini. Untuk dapat gosip terbaru, tinggal pencet, satu dua tombol, informasi pun muncul. Mau bayar tagihan, pencet tombol selesai. Tidak perlu antri, urusan selesai.
Coba anda perhatikan, mulai dari sumpeknya bis kota hingga pojokan gang sekalipun, anda bisa melihat kemajuan teknologi yang semakin memberangus hubungan sosial antara manusia. Entah Marx atau Engels yang mengatakan tentang teori alienasi manusia (lebih tepatnya kelompok buruh di dunia ekonomi politik), berlaku juga di dalam perkembangan teknologi. Secara sadar dan perlahan, kemajuan teknologi mendorong kita menjadi asing dengan orang lain…
ditulis oktober 2006
401
previous post