Tulisan ini dibuat oleh Hilmar Farid sehari setelah berpulangnya Oey Hay Djoen yang kerap aku panggil Om Oey. Beliau wafat pada 17 Mei 2008 di RS. St. Carolus pukul 24.00.
17 Mei 2008 pagi hari. Telepon berdering. Oom Oey – demikian saya memanggil Oey Hay Djoen – menyapa. Ia memang sering telepon, setidaknya sebulan sekali, membahas pekerjaan yang kami tangani bersama atau tukar pendapat tentang bermacam hal. Kali ini ia menelepon untuk menanyakan tentang acara diskusi buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal yang baru diterbitkan Institut Sejarah Sosial (ISSI) bersama Hasta Mitra. Dalam sepuluh tahun terakhir Oom Oey memang giat membantu menangani Hasta Mitra, penerbit perjuangan yang dibentuk tiga serangkai: Hasjim Rachman, Jusuf Isak dan Pramoedya Ananta Toer. Oom Oey adalah penerjemah utama yang sangat giat menerjemahkan naskah-naskah filsafat, sejarah dan ekonomi politik, mulai dari Das Kapital dan Kemiskinan Filsafat karya Karl Marx, sampai Gejala Manusia dari Teilhard de Chardin, dan sejarah lisan tentang perjuangan anti-kolonial perempuan Malaya yang disusun Agnes Khoo.Tidak lama kami bicara. Setelah beberapa menit ia mengucap salam dan terima kasih, kami menutup telepon dan berpisah. Saya kembali tenggelam dalam kesibukan menyelesaikan kata pengantar untuk buku sahabat saya sejak zaman kuliah, Wilson, yang berjudul Orang dan Partai Nazi di Indonesia. Saya tidak menduga bahwa itulah percakapan kami yang terakhir.
Beberapa jam kemudian ia ambruk di rumahnya, lalu dilarikan ke rumah sakit. Kemacetan Jakarta menghambat perjalanannya dari Cibubur di pinggiran kota ke RS Carolus yang terletak di tengah kota. Dua belas jam ia bertahan. Jane Luyke, istri yang setia mendampinginya, berbisik di tengah dengkur keras orang yang terkena serangan jantung: “Kalau mau pergi, pergilah. Tapi jangan hari Sabtu.” Tidak jelas apa orang bisa mengontrol waktu kepergiannya dari dunia, tapi beberapa menit lewat tengah malam, memasuki hari Minggu, Oom Oey menghembuskan napas terakhir.
Saya pertama kali mengenal Oom Oey di rumah almarhum Joebaar Ajoeb, Sekretaris Umum LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun. “Samanjaya,” ia memperkenalkan diri dengan nom de plume semasa muda. Ia tidak banyak bicara waktu itu. Di pangkuannya ada setumpuk naskah, karya terjemahan. Kami bertemu beberapa kali, tapi tidak banyak bicara. Ia biasanya pergi ketika saya datang, seolah tidak ingin mengganggu pembicaraan dengan Joebaar, yang sebenarnya hanya ngalor-ngidul ngobrol tentang bermacam soal. Saya juga tahu diri, jika datang lebih dulu, lantas mohon pamit jika ia datang. Boleh jadi ini hanya sikap hati-hati akibat represi Orde Baru, tidak mau membuka diri terlalu lebar pada orang yang baru dijumpai. Apalagi di “tempat rawan” semacam rumah Joebaar Ajoeb, yang tidak hanya rajin dikunjungi kawan seperjuangan, tapi juga intel dan cecunguk peliharaan militer.
Sambil mengenang pertemuan pertama ini saya membuka-buka catatan lama dan korespondensi e-mail dengannya, serta mendengarkan wawancara yang saya lakukan dengannya beberapa kali.
Oey Hay Djoen lahir di Malang pada 18 April 1929. Saya tidak tahu banyak tentang keluarganya, kecuali bahwa ayahnya meninggal saat usia Oey baru sembilan tahun, dan ia diurus oleh ibunya yang keras tapi liberal sekaligus, dan bahwa saudara-saudara kandungnya hidup terpencar di berbagai benua. Kecuali seorang kakak, Tante Leony, yang tinggal seatap dengannya di kompleks Cibubur Permai. Sekalipun mengirimnya ke sekolah Katolik, keluarga Oey masih menyimpan abu untuk sembahyang, sesuai tradisi Tionghoa yang menghormati leluhur. Di luar rumah dan sekolah, ia bergaul dengan banyak kalangan, dan salah satu kegemarannya adalah mengunjungi toko buku dan perpustakaan milik A.R.C. Salim, tokoh Muhammadiyah di Malang. Di situ ia berkenalan dengan Karl May, Sir Arthur Conan Doyle serta karya sastra dunia lainnya.
Melalui buku juga ia kemudian berkenalan dengan dunia politik. Setelah Jepang pergi dan proklamasi diumumkan, suasana politik menjadi terbuka. Aktivis gerakan bawah tanah muncul ke permukaan dan ratusan orang yang sempat dibuang penguasa kolonial ke Boven Digoel – dan kemudian dibawa ke Australia – kembali ke tanah air. Di antaranya adalah Pak Kliwon, aktivis veteran Sarekat Rakjat yang melancarkan pemberontakan 12 November 1926. Pak Kliwon mengelola sebuah toko buku kecil yang menjual antara lain buku-buku politik. Ketika Oey berkunjung ke tokonya dan melihat buku-buku, Pak Kliwon menyapa, “kamu suka buku-buku ini?” Oey muda mengangguk. Seperti pemuda seusianya di alam revolusi, ia juga tertarik pada politik. Pak Kliwon kemudian mengajaknya ikut pendidikan politik yang diselenggarakan aktivis Sarekat Rakyat. Melihat Oey begitu bersemangat, Pak Kliwon menawarinya untuk berangkat ke Jogja, untuk belajar di Marx House yang bertempat di pabrik gula Padokan (sekarang Madukismo). Awalnya Oey ditolak untuk belajar di sana karena usianya terlalu muda. Tapi dengan dukungan Tan Ling Djie, anggota KNIP dan juga tokoh Partai Sosialis, ia akhirnya diperkenankan ikut.
Pendidikan di Marx House ini menurut Oey sendiri, mengubah perjalanan hidupnya. Ia tekun mendengarkan ceramah dan berdiskusi dengan para pemimpin republik, mulai dari Sjahrir, Alimin, Amir Sjarifuddin, Setiadjit dan Maruto Darusman. Menurut penuturannya ia bergabung dengan Partai Sosialis, yang merupakan blok gerakan kiri terbesar di awal pembentukan republik. Karir politik yang sungguh-sungguh dimulai saat usianya baru 17 tahun. Di Marx House ini juga ia mulai coba menerjemahkan karya-karya dalam bahasa Inggris. Usaha pertamanya adalah buku Lenin, Negara dan Revolusi, yang diterjemahkannya dari bahasa Inggris ke bahasa Belanda! Pendidikan Katolik di Malang membuatnya fasih dalam Inggris dan Belanda, yang sangat berguna ketika ia memutuskan menekuni dunia penerjemahan.
Dari Jogja ia kembali dan mulai giat dalam pergerakan. Ia terjun ke dalam gerakan serikat buruh dan juga kegiatan gerilya kota di di Malang Selatan yang dipimpin oleh Warouw. Tugas utamanya adalah mengurus logistik dan membangun jaringan bawah tanah, membeli senjata dari tentara sukarelawan Belanda yang frustrasi dan merasa dibohongi karena harus berperang dengan orang yang berjuang untuk kemerdekaan. Di masa ini ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Tionghoa nasionalis seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan lainnya, yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya kemudian. Ia sempat ditangkap oleh tentara Belanda lalu disekap di penjara. Tapi penahanan itu tidak berlangsung lama karena beberapa kawan kemudian melarikannya dari penjara. Dari Malang ia pindah ke Surabaya.
Pada pertengahan September 1948 meletus apa yang disebut Peristiwa Madiun. Sejumlah besar pemimpin penting organisasi gerakan kiri seperti Amir Sjarifuddin, Musso, Maruto Darusman, Suripno dan Sardjono dieksekusi. Gerakan kiri terpaksa bergerak di bawah tanah karena kejaran tentara republik. Oey yang saat itu belum genap 20 tahun termasuk mereka yang “terlempar” dari gerakan. Saat menceritakan pengalamannya di masa ini kepada saya ia sering meningkahi kata-katanya dengan tawa kecil. Mungkin malu, ragu atau tidak tahu apakah hal-hal itu memang perlu diingat dan diceritakan. “Aku dibawa ke Surabaya dan di sana kumpul dengan geng. Semua yang brengsek aku kerjakan waktu itu.” Ia sempat mengaku kehilangan arah dan kendali karena para pemimpin yang mengasuhnya, jika tidak tertangkap, menghilang ke bawah tanah.
Ia kemudian mendapat pekerjaan menjadi manajer percetakan Sin Tit Po di Surabaya. Bersama Siauw Giok Tjhan dan Ismoyo ia mengasuh majalah Republik. Setelah Agustus 1951, salah satu dari lima pemimpin PKI terkemuka, Njoto, menghindari kejaran militer ke Surabaya dan tinggal di tempat Oey. Ia sering diajak bicara oleh Njoto yang bisa bicara tentang segala macam hal, mulai dari ekonomi sampai musik klasik, sepak bola dan teori Marxis. Adalah Njoto yang kemudian membantunya menemukan diri dan mencari tempat yang tepat baginya untuk berkegiatan. “Gampangnya, aku ini dipungut lagi oleh Njoto.” Njoto juga memperkenalkannya kepada kelompok ludruk di Surabaya dan juga kalangan seniman di Jakarta. Salah satu tokoh yang menarik perhatian dan cepat menjadi karibnya adalah AS Dharta, yang di masa mendatang menjadi Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Dalam waktu tidak terlalu lama Oey pun pulih secara politik. Ia aktif kembali dalam gerakan. Di samping membuat tulisan feature untuk majalah Republik, ia juga mulai menulis cerita pendek untuk Harian Rakjat. Cerpen pertamanya dimuat bersambung di harian itu dengan judul “Simin, Dul, Amat, Madjid, dan lain-lain” pada 12 dan 19 September 1953. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh kebudayaan pun semakin luas: Bujung Saleh, Pramoedya, Rivai Apin, Hendra Gunawan, Dodong Djiwapradja, termasuk yang sering dijumpainya. Posisinya sebagai salah satu pimpinan Gabungan Perusahaan Rokok Nasional (Gaperon), membuatnya mampu mengundang beberapa dari mereka untuk bertandang ke Semarang. “Aku memang berkemampuan waktu itu,” katanya. Ia dikenal sebagai pengusaha nasional dengan komitmen sosial tinggi, yang sering membantu orang kesulitan.
Keterlibatannya yang lebih jauh dalam politik membuatnya dipilih menjadi anggota Dewan Konstituante (dan kemudian DPR-GR) mewakili Partai Komunis Indonesia atau PKI. Tentu ini nampak sebagai hal yang kontradiktif, bagaimana mungkin seorang pengusaha yang merupakan bagian dari borjuasi menjadi anggota partai komunis. Oey beberapa kali menjelaskan keganjilan ini. PKI menurut di masa itu melihat bahwa agenda terpenting di pada awal 1950-an adalah menghantam imperialisme Belanda yang kembali tegak setelah Konperensi Meja Bundar. Bukan saja semua usaha ekonomi yang telah dikuasai republik harus dikembalikan kepada pemilik aslinya yang kolonial itu, tapi Indonesia juga harus membayar utang Belanda yang dibuat ketika memerangi republik. Dengan kata lain, orang Indonesia harus mengongkosi perang terhadap dirinya. PKI berada di garis depan menentang kebijakan itu bekerjasama dengan semua pihak, termasuk pengusaha nasional.
Di Semarang ini kehidupannya lebih mapan dan teratur. Di sini juga ia bertemu dengan Jean Luyke. Mereka menikah pada 5 April 1954. Malang, anak pertama mereka meninggal ketika masih kecil. Oey pun sibuk bolak-balik Semarang-Jakarta, apalagi ketika sudah menjadi anggota Konstituante. Selain aktif di partai ia juga bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Jawa Tengah, walau tidak menduduki jabatan penting. Usianya saat itu baru 26 tahun.
Anak keduanya, Mado, lahir 7 Februari 1956. Setahun kemudian keluarga Oey pindah ke Jakarta, karena Oey ditarik ke sekretariat pusat LEKRA. Rumahnya di Jl Cidurian 19 di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, ditawarkannya menjadi sekretariat. Pasalnya, kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin tidak memadai lagi. Tawaran itu langsung disambut oleh organisasi dan seiring dengan kemajuan organisasi pengunjung tetap dan tidak tetap semakin bertambah. DN Aidit, Oloan Hutapea, Njoto, Djokosudjono kerap mampir di tempatnya, untuk berdiskusi atau sekadar ngobrol dan minum bir. Setiap Selasa pengurus LEKRA bertemu untuk pertemuan rutin. Berbeda dengan banyak organisasi kebudayaan dan politik lain, dari segi komposisi etnik PKI, LEKRA dan organisasi gerakan kiri pada umumnya, sangat beragam. Tabrakan budaya pun tidak jarang terjadi. Oey yang berasal dari keluarga Tionghoa yang sangat menghargai orang lebih tua, kalau mendengarkan orang bicara sering manggut-manggut sambil mengiyakan dengan dialek Khek, “owe, owe” (saya, saya). Suatu hari Aidit mendampratnya, “apa kamu owe, owe. Seperti feodal saja!”
Dalam kongres LEKRA yang pertama di Solo, Oey dipilih menjadi anggota sekretariat pimpinan pusat organisasi itu, di samping menjadi “kepala rumah tangga” yang mengurus sekretariatnya. Pengalamannya dengan percetakan Sin Tit Po dan majalah Republik di Surabaya juga membuatnya dipercaya untuk ikut mengurus badan penerbit LEKRA. Tulisan dan karya terjemahannya pun semakin banyak, termasuk Perang Gerilya dari Che Guevara, dan Hubungan Estetik Seni dengan Realitas karya Nikolai Chernyshevsky. Lembar kebudayaan Harian Rakjat beberapa kali memuat esei dan cerpennya seperti “Dimadu Gadjah dan Matjan,” (26 Desember 1959). Oleh kawan-kawannya Oey diingat sebagai organisator yang baik dan telaten.
Karena keterlibatannya dalam gerakan kiri inilah Oey Hay Djoen kemudian ditangkap oleh penguasa militer pada 21 Oktober 1965 dan seperti ribuan orang lainnya, ditahan selama 14 tahun tanpa pengadilan. Ia pertama ditempatkan di penjara Salemba, lalu sempat dipindahkan ke Tangerang. Sempat ia berharap akan dilepaskan karena penjara Tangerang adalah untuk orang dengan golongan C. Tapi penguasa militer berubah pikiran. Ia dikirim kembali ke Salemba sebelum diberangkatkan ke Nusakambangan. Kalangan tapol (tahanan politik) mengenangnya sebagai orang yang keras, berpegang pada prinsip dan tidak mau kompromi. Pada 17 Agustus 1969 ia diberangkatkan dalam rombongan tapol pertama ke Pulau Buru. Nomer bajunya: 001.
Di Pulau Buru ia ditempatkan di Unit III yang dikenal sebagai unit die hard bersama Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin. Sikap kerasnya menyambung perlawanan kaum naturalisten yang tidak mau bekerjasama dengan penguasa kolonial di Boven Digoel 40 tahun sebelumnya. Ia tetap membaca dan berkarya, antara lain menerjemahkan karya klasik Plato, Republic, dari edisi buku saku berbahasa Inggris dan panduan akupunktur yang disusun Felix Mann, pendiri dan ketua pertama Medical Acupuncture Society. Tapi kerja intelektual ini berimbang dengan kerja fisik. Hersri Setiawan, yang juga ditahan di Pulau Buru, dalam pidato untuk menghormati Oey bercerita bahwa Oey yang tidak punya latar belakang petani pernah memenangkan lomba menanam benih di sawah yang baru digarap. Oey termasuk rombongan terakhir yang dilepas dari Pulau Buru bersama Pramoedya, Rivai Apin, Hasjim Rachman dan Karel Supit. Penguasa militer terus terang bilang bahwa mereka adalah rombongan die hard yang harus dipisahkan dari tahanan lain.
Selepas dari tahanan Oey aktif menekuni penulisan dan penerbitan. Ia kembali bertemu dengan rekannya sesama eks-tapol yang memang secara sistematis disingkirkan dari pergaulan sosial oleh penguasa. Dalam Instruksi Mendagri No. 32/1981 jelas dikatakan para eks-tapol ini tidak boleh menerima pekerjaan yang “dapat dimanfaatkaan untuk mempengaruhi orang lain baik langsung maupun tidak langsung,” seperti guru, dosen, pendeta, dalang, pengacara, wartawan dan lainnya. Mereka juga tidak boleh membentuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga eks-tapol. Dengan kata lain, harus hidup terisolasi satu sama lain.
Tentu tidak semua eks-tapol tunduk pada aturan itu, termasuk Oey. Rumahnya di Rawamangun tetap terbuka bagi para eks-tapol untuk berkumpul. Tapi ia membatasi pergaulannya dengan kalangan lain. Di lingkungan aktivis Oom Oey dikenal sebagai orang kuat memegang prinsip. Ia anti lembaga donor dan gerakan NGO yang menurutnya sangat bergantung pada kepentingan donor, padahal seharusnya memperjuangkan agenda yang mereka susun sendiri. Tidak jarang ia terlibat dalam perdebatan hangat yang sesekali diselingi nada tinggi dengan orang yang dikritiknya. Ia rajin menghadiri pertemuan, seminar dan diskusi, mendebat para pembicara, mengkritik yang ia rasa perlu dikritik, memuji yang ia rasa perlu dipuji. Lugas, tidak banyak basa-basi.
Ia tidak hanya bicara. Saat kerusuhan melanda Jakarta pada Mei 1998, Oom Oey dan keluarganya aktif dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Mereka rajin menyambangi sekretariat organisasi ini, membawa bantuan makanan, obat-obatan bagi para korban kekerasan. Sebelumnya Oom Oey dan keluarga aktif juga dalam gerakan Koperasi Solidaritas yang dibentuk akhir 1997 untuk menghadapi akibat krisis finansial. Dengan jaringannya, ia turut membantu koperasi itu tumbuh besar dan melayani anggota dengan berbagai kebutuhan pokok. Ketika Indonesia dikoyak oleh kekerasan sektarian, Oey lebih dari sekadar prihatin, tapi aktif membangun jaringan dengan kawan-kawannya yang tersebar di dalam maupun luar negeri untuk membantu para korban. “Ini adalah kenyataan hidup hari ini, dan kita harus bisa menjawabnya.” Demikian ia menyimpulkan keterlibatannya dalam gerakan kemanusiaan.
Pertemuan dengan aktivis muda menggerakkannya terus berkarya. Di samping sibuk menghadiri berbagai pertemuan, mengurus jaringan kemanusiaan, ia terus menerjemahkan naskah-naskah klasik yang dinilainya penting untuk diketahui. “Agar teman-teman bisa langsung mempelajari aslinya.” Ia mengkritik kecenderungan “kader kuping” yang gemar mengutip tanpa pernah membaca aslinya. Penyakit jantung tidak membuatnya surut berkarya. Justru dalam sepuluh terakhir, ketika kesehatannya mulai menurun, ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik dan gerakan sosial. >Hampir seluruhnya adalah karya-karya klasik dari Marx dan Engels, ditambah beberapa buku kunci dari Rosa Luxemburg dan G.V. Plekhanov. “Mengapa tidak menerjemahkan Lenin?” saya bertanya suatu hari. “Lenin itu lebih preskriptif, tulisannya berisi anjuran untuk berbuat ini dan itu, sementara yang kita perlukan adalah kekuatan kritik, dan itu ada pada Marx dan Engels.” Ia mengkritik kecenderungan dogmatik yang hanya mau membaca tulisan yang jelas garisnya, padahal pikiran terus berkembang. “Yang abadi dan hanyalah perubahan.”
Masih banyak yang bisa saya sampaikan mengenai hidup, diri dan karyanya. Tapi yang paling mengesankan adalah persahabatannya yang tulus. Ia selalu sedia menerima kawan yang kehabisan tenaga dan semangat menghadapi tumpukan masalah. “Kita tidak mungkin melakukan semua hal. Kemampuan kita ada batasnya. Yang penting adalah bagaimana mengorganisasi kekuatan kita yang terbatas ini.” Sering ia menyitir ucapan Njoto, sahabat dan gurunya, “ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian.”
Oom Oey adalah kerikil itu, yang riaknya terus akan kita rasakan selama bergenerasi.
Jakarta, 21 Mei 2008
Hilmar Farid