Yaimin, mati ditembak aparat keamanan hutan di hutan jati Perhutani KPH Madiun Selasa kemarin (6 Mei 2008). Di dada Yaimin bersarang 4 peluru. Yaimin diduga mencuri kayu bersama rekan-rekannya. Warga membantah Yaimin bergerombol di hutan, Yaimin hanya sendirian, menurut mereka.
Empat peluru! Untuk Yaimin seorang diri.
Belum genap 2 minggu sebelumnya, tanggal 23 April 2008 tiga orang pencari kayu ditembak di hutan jati Perhutani KPH Bojonegoro. Dua tewas, satu orang kini dalam kondisi kritis.
Keamanan hutan tentu saja hal yang dirisaukan, dan Perhutani pun kemudian menggembar-gemborkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebagai salah satu langkah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pengamanan hutan. Bersama Masyarakat? Bukankah para penjajah telah silih berganti mengelola hutan bersama masyarakat? Mereka yang mengeruk hasil panen kayunya, bersama masyarakat yang bersusah payah mengolah tanah, menanam, dan memelihara pohonnya selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Bukankah Perhutani sudah selama ini mengelola hutan bersama masyarakat? Perhutani yang menembak dalam rangka pengamanan hutan, bersama masyarakat yang menjadi korban; juga dalam rangka yang sama.
Sedikit yang tahu bahwa Cipto, korban tewas dalam penembakan di KPH Bojonegoro baru-baru ini, adalah anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan; sebuah lembaga yang didirikan untuk bekerjasama dengan Perhutani dalam kerangka PHBM.
Kematian! Bagi rakyat kecil pencari kayu yang telah bergiat dalam PHBM.
Belum kering tanah kubur mereka, Administratur KPH Bojonegoro berencana menaikkan pangkat kepada pelaku penembakan. “Ketujuh polisi hutan tersebut telah berjasa mengamankan hutan,” katanya. Tak kurang Menteri Kehutanan M. S. Kaban mengirim SMS yang mendukung Administratur KPH Bojonegoro.
Kenaikan pangkat! Untuk para pembunuh rakyat.
Kami muak dengan kekerasan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan aparat pengamanan hutan. Yang dengan arogan, atas nama keamanan asset negara, tega menganiaya, menembak, dan membunuh rakyat desa sekitar hutan. Mereka yang miskin dan terdesak.
Sejak tahun 1998 kami mencatat setidaknya telah jatuh 100 korban kekerasan yang dilakukan aparat pengamanan hutan Perum Perhutani.
100 korban! Demi keamanan hutan yang dirampas dari para korbannya sendiri.
Seratus korban, 31 nyawa melayang, 69 luka-luka dianiaya atau ditembak aparat keamanan hutan. Agar Perum Perhutani, perusahaan pengelola hutan dapat dengan tenang menciptakan keuntungan tiap tahunnya? Hutan bukan milik perusahaan. Bukan milik Perhutani. Hutan adalah milik rakyat. Adalah milik rakyat yang telah ratusan tahun dirampas oleh penjajah dan belum pernah dikembalikan.
Kami menuntut agar keadilan ditegakkan. Pelaku pembunuhan dan pelanggaran HAM diusut, diadili, dan dijatuhi hukuman yang setimpal.
Kami menuntut kepada semua pihak agar menghentikan segala bentuk kekerasan dan melucuti senjata api dari sistem pengamanan hutan.
Kami menuntut agar hutan yang selama ini dikelola Perum Perhutani dikembalikan kepada rakyat agar dikelola dengan lebih baik.
Kami menyerukan kepada semua organisasi tani, serikat tani, kelompok tani, organisasi masyarakat agar menghentikan segala bentuk kerja sama dengan Perum Perhutani.
Hari ini juga!
Jangan tunggu korban ke-101!
Lidah Tani
Blora, 7 Mei 2008
lidahtani[at]gmail.com
7 comments