Beberapa waktu yang lalu, aku mendapatkan sebuah pengalaman baru dalam hidup. Aku menjadi saksi dalam sebuah kasus gugatan Adrianna Venny melawan Yayasan Jurnal Perempuan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada 25 November 2008. Walaupun bukan praktisi hukum, pengadilan dan instrumen peradilan lainnya sudah akrab denganku. Hanya saja, kali ini posisinya berbeda. Jika sebelumnya aku dalam posisi melakukan pemantauan, maka kali ini posisinya terlibat langsung menjadi saksi. Di sini pula aku kemudian memperkuat kesimpulanku bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak ramah.
Siang itu, aku bersama beberapa teman yang akan menjadi saksi melangkah ke dalam sebuah gedung yang dijadikan sebagai tempat PHI di Jl. MT. Hayono Kav. 52, Jakarta Selatan. Dari luar, tidak tampak bahwa gedung tersebut adalah PHI karena sama sekali tidak terlihat satupun petunjuk berupa papan nama yang mencolok. Wajar saja kalau banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan tempat ini.
Saat masuk ke dalam tersebut, baru terasa suasana tempat orang mengadukan nasibnya melalui mekanisme peradilan. Kulihat segerombol orang yang menggunakan atribut serikat buruh. Kalau tidak salah, mereka tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Menurut temanku, mereka saat ini berperkara untuk menggugat pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya.
Tidak berapa lama, aku penasaran untuk mengetahui proses pengadilan ini. Aku kemudian ikut dalam sebuah sidang yang saat itu sedang berjalan. Kalau tidak salah, sidang ini sedang menyidangkan perkara antara dua orang mantan pekerja melawan sebuah hotel. Saat itu, proses sidang sudah memasuki tahap untuk mendengarkan saksi dari pihak penggugat.
Saat itu pula aku menyaksikan sebuah kejadian yang membuat hatiku sedikit miris. Setelah memberikan kesaksian, saksi tersebut terlihat tertekan. Matanya berkaca-kaca seperti tidak mampu menahan tekanan atas pertanyaan yang diajukan oleh majelis hakim dan penasehat hukum tergugat. Bagaimana tidak, ungkapan yang digunakan cukup intimidatif seperti “ingat lho, bapak masih dalam sumpah. Ngomong yang jujur aja”. Pertanyaan seperti itu sudah pasti menjadi tekanan tersendiri buat orang yang tidak terbiasa dengan mekanisme hukum.
Sistem Yang Tidak Ramah
Banyak orang, termasuk aku pasti akan berpikir berkali-kali jika ingin masuk dalam proses hukum. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa saat masuk ke dalam proses ini, maka berbagai kerumitan akan dihadapi.
Mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga tingkat pengadilan pasti akan membuat banyak orang yang kapok. Sebagai contoh saja, saat anda berurusan dengan kepolisian maka sudah mulai dalam peliknya urusan peradilan. Terkadang untuk memproses sebuah kasus kejahatan yang menimpa kita sulitnya bukan main. Apalagi jika anda sebagai pihak yang menjadi terdakwa, maka di tingkat kejaksaan mungkin akan mendapatkan tawaran untuk mendapatkan keringanan. Praktek seperti dikenal dengan jual beli pasal, semakin tinggi bayarannya maka pasal yang dikenakan akan semakin kecil. Tidak jauh beda di pengadilan, jual beli juga terjadi. Inilah yang disebut dengan mafia peradilan. Pengetahuan hukum yang terbatas dari orang yang sedang dalam proses hukum seringkali dimanfaatkan oleh para oknum penegak hukum untuk meraup keuntungan pribadi.
Akan lebih parah lagi kalau seorang perempuan menjadi korban pelecehan atau pemerkosaan. Dia akan menghadapi sebuah sistem hukum yang tidak berpihak padanya. Ditambah lagi budaya patriarki yang masih bercokol dan menguasai cara berpikir aparat penegak hukum. Bersiaplah untuk ‘diperkosa’ atau ‘dilecehkan’ untuk kesekian kalinya, di setiap proses tersebut.
Proses hukum seakan menjadi sesuatu yang menakutkan. Padahal hadirnya hukum di negeri ini untuk menjamin bahwa setiap orang terlindung dari tindakan sewenang-wenang dari pihak di luar diri. Jika si bapak tadi dalam posisi sebagai saksi saja sudah merasa tertekan, apakah sistem hukum kita masih bisa dikatakan melindungi?
2 comments
mmmmm susah banget ya berurusan sama hukum, btw emang hukum kan sifatnya mengikat dan memaksa, jadi? di negara lain apakah lebih baik?
Inal! Sebenarnya tidak susah. Jika kita paham logikanya, tidak akan terlalu sulit. Berhubung masyarakat tidak diberikan pemahaman tentang hukum, makanya hukum menjadi momok. Ditambah lagi kelakuan aparat penegak hukum yang korup.
Hukum dimana-mana sifatnya mengikat dan memaksa. Kalau tidak mengikat, bukan hukum namanya. Persoalannya adalah bagaimana penegakannya. Sebaik apapun peraturan dibuat, jika sistemnya sudah korup…! Sama saja!
Jika dibandingkan dengan negara lain, sudah pasti sulit mengukurnya. Pada intinya, hukum itu untuk melindungi warga negara (lebih luas lagi manusia) dari terlanggarnya hak mereka. Jika hukum sudah melanggar, maka fungsinya perlu dipertanyakan.