Home Beranda Soe Hok Gie Dikupas Lagi

Soe Hok Gie Dikupas Lagi

1 comment

Jakarta, Rakyat Merdeka. Walau sudah 37 tahun wafat di Gunung Semeru, nama Soe Hoek Gie masih diperbincangkan.
Malam ini, (Kamis, 12/1), sosok adik kandung Soe Hok Djin alias Arief Budiman ini akan hadir dalam Diskusi Bulan Purnama yang digagas para pekerja budaya muda yang tergabung dalam Jaringan Kerja Budaya (JKB).
Menurut rilis JKB yang dikomandoi Hilmar Farid Setiadi, diskusi tentang penulis buku Di Bawah Lentera Merah dan Mereka yang Berdiri di Simpang Kiri Jalan akan dilakukan pukul 19.30 nanti di Garuda, Jalan Pondok Gede Raya 40. Tepatnya di persimpangan Taman Mini-Pondok Gede, Jakarta Timur.
Para pembicara yang akan membahas adalah Mona Solanda (Sejarawan dan Peneliti Senior Arsip Nasional) dan Syaldi Sahude (aktivis pemuda). Dengan moderator Rinto Trihasworo (Sejarawan Lisan ISSI) akan mencoba melacak seperti apakah pemikiran alumnus Sejarah UI ini? Hal apa yang bisa dipetik bagi generasi muda di masa kini?
Pertanyaan ini terasa kian mendesak setelah sosok Soe Hok Gie difilmkan oleh Miles Production dengan sutradara Riri Riza. “Lebih baik tersingkir dari pada menyerah terhadap kemunafikan,” merupakan kalimat Soe Hok Gie yang dipilih sebagai penutup film tersebut.
Diskusi kali ini akan diramaikan dengan pementasan musik dari Sanggar anak Akar dan monolog penyair Aceh, Agus Nur Amal.
Seperti diketahui, lewat buku Catatan Harian Seorang Demonstran terbitan LP3ES, pengaruh Soe Hoek Gie merasuk begitu luas ke generasi mahasiswa 86 dan 90-an.
Para demonstran menjadikan buku Soe Hoek Gie itu sebagai salah satu ‘kitab suci’. Bahkan, boleh dibilang, Soe Hoek Gie punya kontribusi membangun konsepsi gerakan moral mahasiwa dalam dekade 90-an yang turut aktif menumbangkan kediktaktoran Soeharto.
Sayangnya, buku catatan harian Soe Hok Gie kini terbit lagi dengan embel-embel sebuah merek rokok.
Seperti ikon dalam sejarah, Soe Hok Gie pun tak lepas dari proses komoditifikasi seperti halnya Che Guevara dalam masyarakat kapitalis. Komoditifikasi memang mendorong manusia tidak ada bedanya dengan benda karena yang menjadi pertimbangan hanyalah keuntungan (komoditi) semata.
Sumber: Rakyat Merdeka

You may also like

1 comment

balibo 03/07/2009 - 00:58

bangga dan merasa bersalah memperhatikan kegigihan pemuda kita dahulu jika dibandingkan dengan pemuda umumnya sekarang

Reply

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy