Home Meja KerjaHak Asasi Manusia Berkenalan Dengan Genosida ’65-66

Berkenalan Dengan Genosida ’65-66

0 comment

Aku sungguh beruntung punya kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1965 dari perspektif yang berbeda. Sebelumnya, aku percaya bahwa mereka yang dibunuh dan ditahan pada tahun 1965-1966 adalah orang komunis yang anti Tuhan. Tidak lupa semua bumbu-bumbu dari orde baru yang aku telan bulat-bulat.
Saat awal bergabung dengan posko Pasar Minggu Tim Relawan untuk Kemanusiaan, aku berbincang dengan salah seorang kawan yang ku anggap sebagai mentor dalam gerakan sosial. Dalam perbincangan itu, aku dengan polos bertanya apakah benar mereka yang menganut komunis itu adalah atheis? Dengan tersenyum, dia bertanya balik kepadaku “mengapa kamu bisa berpikir seperti itu?” Aku jawab, karena itu lah yang kupelajari di sekolah dan berbagai buku sejarah.

Kawanku tersenyum kecil lalu menjelaskan panjang lebar tentang berbagai hal yang terkait dengan kejadian di tahun 1965. Dia menjelaskan bahwa PKI berawal dari Syarikat Islam dan beberapa petingginya adalah muslim yang taat seperti H. Misbach yang mendapat julukan Haji Merah. Dia juga menjelaskan tentang dinamika sosial politik yang terjadi saat itu. Yang paling penting adalah bagaimana semua agitasi dan propaganda yang dilakukan orde baru untuk menyalahkan PKI. Paling terakhir dia menjelaskan bahwa hampir semua yang jadi korban di ’65-66, baik yang dibunuh, ditahan dan diasingkan bukanlah anggota PKI namun warga yang di-PKI-kan. Semua penjelasannya membuatku terperangah namun otakku masih belum percaya seratus persen.

Saat kawan-kawan di Tim Relawan untuk Kemanusiaan melakukan penelitian sejarah lisan tentang korban ’65, aku punya kesempatan bertemu dan berinteraksi dengan banyak korban dari berbagai daerah. Semua gambaran betapa bangsatnya para komunis itu runtuh perlahan karena kehangatan para korban. Kesan yang paling kurasakan dalam interaksi tersebut adalah mereka orang yang cerdas dan punya pemikiran yang kritis, beberapa diantaranya adalah seniman, guru bahkan mantan anggota DPR. Berbincang dengan mereka seperti belajar sejarah dari tangan pertama. Tidak satu pun diantara mereka yang “mengajak” untuk jadi komunis. Yang selalu mereka tekankan adalah pentingnya anak muda untuk membuat perubahan untuk bangsa ini.

Proses ini membuatku bertanya; mengapa orde baru sangat takut dengan mereka yang cerdas dan begitu peduli pada bangsa ini? Menurutku, mereka adalah aset bangsa yang berharga. Dari titik inilah, rasa penasaranku makin besar. Mulai lah aku mencari bahan bacaan yang tentu saja tidak akan didapatkan di sekolah atau kampus pada umumnya. Beberapa bahan bacaan masih kategori terlarang yang kalau aku kedapatan membawa buku tersebut, maka penjara akan menanti. Perlahan aku jadi paham bahwa selama ini sudah DIBOHONGI oleh rejim orde baru.

Salah satu yang paling menentang soal interaksiku dengan persoalan ’65 adalah bokap. Tidak jauh berbeda dengan aku, dia memakan semua propaganda orde baru soal ’65. Kami bisa berdebat selama satu jam di telepon hanya karena masalah ini. Kalau seperti ini, tekor bandar juga. Lumayan euy, tahun 2000 bisa habis seratus ribu di wartel hanya untuk berdebat soal ini.

Pada suatu kesempatan, bokap berkunjung ke Jakarta untuk menengok anaknya yang dicurigai sudah jadi komunis. Aku lupa tepatnya kapan, tapi ini saat yang tepat untuk berbincang langsung dengan bokap mengenai berbagai apa yang aku lakukan di Jakarta. Bokap kemudian menginap di tempatku sehingga aku bisa mempertemukan dengan beberapa korban. Salah satu yang aku ingat betul adalah interaksi bokap dengan Pak Djaji, salah satu korban ’65 yang ditahan tanpa pengadilan. Aku sengaja tidak nimbrung karena ingin melihat bagaimana mereka berdua berinteraksi. Mereka berdua berbincang cukup lama, mulai dari siang hingga magrib. Salah satu momen paling epik adalah saat Pak Djaji mengajak bokap untuk sholat Maghrib berjamaah. Bokap tampak kaget karena asumsi-asumsi di kepalanya soal mereka yang dituduh komunis.

Keesokan harinya, aku mengajak bokap untuk datang ke peluncuran buku “Tahun Yang Tak Pernah Berakhir”. Buku ini merupakan hasil studi dengan menggunakan pendekatan sejarah lisan untuk merekam pengalaman-pengalaman dari para penyintas genosida ’65-66. Di tempat ini, bokap bertemu dengan banyak orang yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Terlihat betul wajah bokap yang awalnya tidak nyaman dan risih saat mengetahui di tempat itu banyak sekali orang yang dituduh sebagai PKI atau komunis. Namun perlahan berubah saat bokap mulai menyimak dengan seksama penuturan mereka yang dituduh sebagai komunis. Kebetulan, beberapa diantara mereka umurnya tidak jauh berbeda dengan bokap. Nampaknya bokap mulai bisa memahami persoalan yang selama ini dia tidak ketahui.

Dalam perjalanan pulang ke tempat kami menginap, bokap membuka pembicaraan dengan nada yang sangat pelan. Bokap bilang “Kalau memang mereka yang dituduh PKI itu bersalah, seharusnya anaknya tidak boleh menanggung akibat dari kesalahan orang tuanya”. Nampaknya dia terpikir betul mengenai kisah anak-anak dari korban ’65-66 yang tidak dapat menikmati pendidikan atau dipersulit untuk usaha karena tidak lolos dari litsus (penelitian khusus).
Setelah itu, bokap kemudian bercerita panjang mengenai sepupunya yang menjadi korban genosida ’65-66. Salah satu sepupu bokap yang tinggal di salah satu wilayah di Sulawesi Selatan dibunuh oleh massa karena merupakan anggota dari Pemuda Rakyat, organisasi underbow PKI. Jenazahnya terpaksa dimakamkan di dalam rumahnya karena warga sekitarnya menolak untuk memakamkan sepupu bokap di pemakaman umum. Sejak saat itu, sepupu bokap seolah hilang dari silsilah keluarga karena khawatir akan menyulitkan keluarga lain.

Terus terang aku kaget saat bokap bercerita soal ini karena tidak sekalipun dia menyinggung soal ini. Ternyata penolakan yang selama ini adalah bentuk denial dan untuk menutupi sejarah yang sebenarnya. Namun di sisi lain, aku senang karena bokap sudah bisa bersimpati pada persoalan ini tanpa perlu aku banyak bicara. Sejak saat itu, tidak ada lagi kami tidak pernah lagi adu argumen mengenai persoalan ini. Meskipun dia tetap berpesan “jangan jadi komunis ya” dan selalu aku jawab “saya membela mereka bukan karena ideologi, tapi karena mereka menjadi korban”.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy