Beberapa waktu yang lalu, dalam kampanye Pemilu Presiden 2014, salah seorang tokoh publik mengeluarkan satu pernyataan “Laki-laki sejati pasti memilih si A sebagai presiden”. Pernyataan tersebut digunakan untuk menggambarkan bahwa calon yang dia usung merupakan sosok yang tegas, bertanggung-jawab dan layak menjadi pemimpin. Analoginya tersebut kemudian menempatkan bahwa jika ada laki-laki yang memilih si B, maka sudah dipastikan mereka bukanlah laki-laki sejati. Meskipun banyak yang mengkritik pernyataan tersebut namun tidak sedikit pula yang mengamininya.
Pernyataan di atas adalah salah satu bukti nyata bahwa masyarakat kita masih melihat bahwa nilai-nilai maskulin yang melekat pada laki-laki adalah salah satu syarat menjadi pemimpin. Selain itu, muncul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan istilah “laki-laki sejati”? Apakah laki-laki sejati adalah mereka yang berani melakukan berbagai tindakan beresiko?
Salah satu survey yang dilakukan oleh Partner For Prevention (P4P) yang berjudul “Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent It?” bisa menjadi acuan untuk melihat perilaku laki-laki terkait dengan kekerasan. Survey ini adalah hasil UN Multi-country Study on Men and Violence in Asia and The Pacific’s yang dilakukan di Bangladesh, Kamboja, Cina, Indonesia, Sri Lanka dan Papua New Guniea. Di Indonesia, Rifka Annisa menjadi salah satu mitra dalam melakukan survey tersebut di tiga wilayah di Indonesia; Jakarta, Purwerejo dan Papua.
Hasil temuan di Indonesia cukup mengejutkan meskipun sudah dapat diduga. Prevalensi angka kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki, baik terhadap pasangan maupun non pasangan cukup tinggi. Sebagai contoh, dalam ranah kekerasan emosi, 46,8 % – 64,5% sementara ranah kekerasan seksual, 22,3% – 49,2% laki-laki mengaku pernah melakukannya. Angka ini berbanding lurus dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam catatan Tahunan Komnas Perempuan 2013 terdapat lebih 279.760 kasus yang terlaporkan, baik di ranah publik maupun domestik.
Hasil temuan tersebut menjadi dasar penting mengapa laki-laki perlu terlibat dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sejarah Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: Pengalaman Rifka Annisa
Upaya pelibatan laki-laki di dunia dalam isu keadilan gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Salah satu yang cukup awal mempromosikan tentang pelibatan laki-laki adalah White Ribbon Campaign yang berbasis di Kanada. Sejak tahun 1991, mereka mengkampanyekan pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini dibentuk oleh beberapa penggiat laki-laki yang prihatin dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Inisiatif ini kemudian disambut dengan postif di berbagai belahan dunia, termasuk badan-badan Internasional yang bekerja pada isu kesetaraan gender. Ini tergambar dari hasil The International Conference on Population and Development (ICPD, 1994) dan Fourth World Conference on Women (Beijing PFA, 1995) yang memberikan pondasi awal pelibatan laki-laki di isu keadilan gender.
Inisiatif ini kemudian menginspirasi banyak penggiat di seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia. Pada tahun 1999, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggagas Deklarasi “Cowok Anti Kekerasan” (CANTIK) sebagai bentuk dukungan para penggiat laki-laki terhadap upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, YJP juga menerbitkan satu buku -bisa dikatakan sebagai buku pertama- yang membahas tentang Feminis Laki-laki. Beberapa organisasi juga kemudian berusaha melibatkan laki-laki dalam program dan kampanyenya. Namun, inisiatif ini sempat vakum selama beberapa tahun.
Rifka Anisa (RA), salah satu organisasi Women Crisis Center (WCC) melakukan sebuah terobosan penting dengan menjalankan program konseling untuk laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Kegiatan ini dimulai sejak tahun 2007 dengan alasan yang sangat mendasar, mayoritas perempuan korban KDRT yang didampingi memilih kembali kepada pasangannya yang notabene adalah pelaku kekerasan. Kondisi ini kemudian menempatkan kembali korban dalam posisi yang rentan dan kembali ke dalam lingkaran kekerasan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, maka laki-laki harus dilibatkan untuk memutus lingkaran kekerasan tersebut melalui konseling perubahan perilaku untuk laki-laki. Tidak hanya itu, dalam perkembangannya Men’s Program kemudian melakukan beberapa riset tentang maskulinitas serta pengembangan modul untuk pelibatan laki-laki di tingkat komunitas. Dalam konteks pencegahan sejak dini, RA juga melibatkan remaja untuk menjadi bagian dalam gerakan program tersebut melalui berbagai kegiatan, Youth Camp adalah salah satunya.
Sejak saat itu, upaya pelibatan laki-laki dalam isu kesetaraan gender mulai menggeliat kembali di Indonesia. Beberapa organisasi perempuan serta penggiat laki-laki yang peduli dan aktif pada isu kekerasan terhadap perempuan menyadari bahwa dibutuhkan gerakan yang lebih besar dan konkrit untuk menjangkau lebih banyak laki-laki. Pada akhir tahun 2009, Rifka Annisa, Yayasan Jurnal Perempuan, WCC Bengkulu, Yayasan Pulih, Men’s Forum Aceh dan Rumah Perempuan Kupang kemudian membentuk “Aliansi Laki-laki Baru” (ALB) sebagai wadah kegiatan pelibatan laki-laki di Indonesia.
Rakyat Bergerak: Kisah-kisah dari Komunitas di Indonesia untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Salah satu tujuan utama dari pelibatan laki-laki adalah menjadi ruang bagi laki-laki untuk bersikap dan mengambil posisi melawan kekerasan terhadap perempuan dan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Nampaknya akan sangat mustahil untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan tanpa melibatkan laki-laki karena faktanya bahwa mayoritas pelaku kekerasan adalah laki-laki. Di sisi lain, ada banyak laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan namun menjadi mayoritas yang diam (silent majority). Ada banyak alasan mengapa mereka memilih diam, salah satunya adalah tidak tersedianya ruang bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan wadah untuk bersikap terhadap persoalan tersebut. Sementara itu, hanya sebagian kecil dari laki-laki yang terlibat aktif dalam isu tersebut sehingga dampaknya sangat kecil.
Oleh karena itu, kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan mengajak semakin banyak laki-laki untuk berpartisipasi menjadi sangat penting. Tanpa dukungan masyarakat luas, baik laki-laki maupun perempuan, sangatlah tidak mungkin tujuan tersebut bisa tercapai. Sejak 2009, kampanye tentang pelibatan laki-laki kemudian gencar dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah kampanye yang dilakukan oleh Aliansi Laki-laki Baru. Berbagai medium digunakan untuk menjangkau dan memberikan edukasi mengenai pentingnya pelibatan laki-laki, mulai dari konvensional hingga media sosial. Tujuan akhir dari kampanye ini adalah semakin banyak laki-laki yang bergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dimulai dari dirinya.
Kampanye tersebut kemudian disambut baik oleh banyak pihak, terutama organisasi yang bekerja langsung di masyarakat. Salah satu contohnya adalah Rumah Perempuan Kupang yang melakukan program konseling perubahan untuk laki-laki pelaku KDRT. Di Bengkulu, WCC Cahaya Perempuan melakukan konseling perubahan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk remaja, SANTAI Mataram mencoba mengajak komunitas mereka untuk menjadi pelopor pencegahan dengan kegiatan diskusi di komunitas. Sementara di Papua, sebuah upaya percontohan untuk Kampung Damai dengan mengintegrasikan isu pelibatan laki-laki untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi di wilayah tersebut.
Selain itu, sebuah program Laki-laki Peduli (MenCare+) yang didukung oleh RutgersWPF mencoba melibatkan laki-laki dalam isu yang lebih spesifik yaitu melibatkan laki-laki dalam kerja-kerja domestik dan pengasuhan anak. Program ini dilaksanakan di beberapa daerah dan melibatkan beberapa mitra seperti PKBI Lampung, Yayasan Pulih, Rifka Annisa dan PKBI Jawa Timur. Kegiatan seperti kampanye, diskusi komunitas, pengembangan materi dan advokasi dilakukan untuk mendorong pelibatan laki-laki.
Pelan tapi pasti dampak dari upaya ini mulai terlihat. Dampaknya bukan hanya ke laki-laki sebagai individu namun juga sebagai bagian dari masyarakat. Mereka yang awalnya menjadi pelaku perlahan-lahan kemudian menyadari kesalahannya dan menjadi agen perubahan. Perubahan tersebut mereka lakukan dimulai dari organisasi yang paling kecil, yaitu keluarga. Salah dampak nyata muncul dari pernyataan salah satu fasilitator propinsi di Nusa Tenggara Timur yang merasakan dampak positifnya. Sebelum terlibat dalam kegiatan pelibatan laki-laki, dia merasakan sangat berjarak dengan anak-anaknya namun hal tersebut perlahan-lahan berubah ketika mulai menerapkan pengetahuannya tentang pelibatan laki-laki. Sebaliknya, pasangan mereka mulai merasakan bahwa kehidupan keluarganya semakin hangat dan menjadi lebih intim.
Isu pelibatan laki-laki juga disambut oleh beberapa institusi pemerintahan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Mereka mencoba mendorong pelibatan laki-laki melalui kelurahan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihat pelibatan laki-laki bisa cara untuk mempromosikan perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi untuk laki-laki. Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memiliki program intervensi ke Laki-laki Beresiko Tinggi (High Risk Men) untuk mencegah dan mengurangi infeksi menular seksual, khususnya HIV.
Keterlibatan Laki-laki dalam Upaya Pencapaian MDG’s
Indonesia adalah salah satu negara yang telah berkomitmen untuk menjalankan Millenium Development Goals (MDG’s), sebuah program yang disepakati oleh 189 Negara lainnya dalam Millenium Summit of The United Nations pada tahun 2000. MDG’s memiliki delapan target utama; (1) Penghapusan kemiskinan dan kelaparan, (2) Pendidikan dasar untuk semua, (3) Promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Melawan penyebaran HIV dan AIDS, Malaria serta penyakit lainnya, (7) Menjamin daya dukung lingkungan hidup dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Jika melihat secara makro, maka pelibatan laki-laki sangat dibutuhkan di semua target dari MDG’s namun dalam tulisan ini akan fokus membahas pada beberapa tujuan.
Target MDG’s ke 3, Promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, merupakan salah satu target yang sangat relevan dalam pelibatan laki-laki. Upaya ini telah diakui secara internasional bahwa sangat penting laki-laki mengambil bagian dalam pencapaian target ini. Salah satu upaya konkrit dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Ban Ki-Moon, sekertaris jendral adalah mencanangkan kampanye “He for She” yang bertujuan melibatkan laki-laki dalam pengentasan KTP. Selain itu, di tingkat lokal beberapa inisiatif juga dilakukan oleh berbagai organsasi, salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh Gema Alam NTB. Mereka bersama komunitasnya bekerja sama untuk mencari solusi ketersediaan sarana air bersih. Persoalan ini sangat berdampak positif pada peran tradisional perempuan di beberapa kampung yang mereka dampingi. Dalam mencari solusinya, mereka bekerja sama dengan kelompok perempuan untuk melakukan analisis persoalan secara bersama dan mencari solusi untuk penyediaan air bersih.
Tingginya angka kematian ibu dan anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian bayi tercatat 359 dari 100.000 ribu kelahiran. Angka ini cukup meningkat jika dibandingkan dengan data 2007 yang berkisar pada 228 dari 100.000 kelahiran. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kematian ibu dan anak (KIA) sebagai salah satu cara mendorong pencapaian dari target 4 (Menurunkan angka kematian anak) dan 5 (Meningkatkan kesehatan ibu) di Indonesia melalui pelibatan laki. Salah satunya adalah kampanye Suami Siaga yang diklaim oleh pemerintah cukup berkontribusi dalam menurunkan angka KIA.
Beberapa organisasi yang saat ini terlibat dalam program Laki-laki Peduli juga mencoba untuk menyasar persoalan kesehatan ibu dan anak, terutama dalam proses kehamilan dan pengasuhan. Salah satu persoalan yang digarisbawahi adalah tingginya angka pernikahan dini yang berkontribusi pada tingginya angka KIA dan KDRT. Laki-laki juga didorong untuk terlibat dalam menjaga kesehatan ibu di masa persiapan, kehamilan dan pasca kelahiran. Tidak hanya sampai di situ, laki-laki juga diharapkan berperan aktif dalam pengasuhan anak untuk menjamin perkembangan emosi dan intelektual anak dapat maksimal.
Dengan meningkatnya angka infeksi baru yang terjadi pada ibu rumah tangga di Indonesia menjadi tantangan baru bagi pemerintah untuk mencapai target MDG’s ke 6, Melawan penyebaran HIV dan AIDS, Malaria serta penyakit lainnya. Kondisi ini menggeser paradigma intervensi yang awalnya hanya berfokus pada kelompok kunci (LGBT, pekerja seks, dll) kepada laki-laki yang memiliki resiko (sering disebut LBT) menginfeksi pasangannya. KPAN dan beberapa organisasi yang bergerak di isu HIV kemudian mulai mengintervensi kelompok tersebut dengan berbagai pendekatan maskulinititas positif.
Konseling Perubahan Perilaku untuk Laki-laki*
Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan untuk melibatkan laki-laki dalam untuk mencapai keadilan gender adalah memberikan ruang kepada mereka untuk merefleksikan diri mereka dan kehidupan yang dijalani. Salah satu medium melakukan itu adalah melalui konseling perubahan perilaku untuk laki-laki, khususnya pada pelaku kekerasan. Meskipun cukup efektif namun masih sedikit laki-laki yang mau mengaksesnya. Tentu saja, model seperti ini masih belum populer dan dianggap bukan hal yang penting di sistem kebudayaan mayoritas masyarakat Indonesia dengan budaya patriarki yang kental. Berdasarkan pengalaman Rifka Annisa mengajak pelaku KDRT secara sukarela mengikuti konseling bukanlah hal yang gampang dilakukan. Sejak tahun 2007 hingga Juli 2012, sedikitnya telah ada 79 laki-laki yang telah mengakses layanan konseling perubahan perilaku di Rifka Annisa. Jumlah ini hanya meliputi 6,4% dari jumlah klien kekerasan terhadap istri yang mengakses layanan di Rifka Annisa. Lalu bagaimana caranya mendorong laki-laki untuk mengakses konseling perubahan perilaku, khususnya pelaku KDRT? Tentu saja bukan hal yang mudah.
Perkara KDRT merupakan perkara yang membutuhkan penyelesaian multi dimensi, karena dapat menyangkut permasalahan social dan kemanusiaan. Penghukuman bagi pelaku saja tidak cukup untuk menanggulangi terjadinya kekerasan, karena sejatinya KDRT disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku. Penghukuman bagi pelaku saja tidaklah cukup memberikan keadilan bagi korban, mengingat seringkali masih meninggalkan permasalahan tersendiri bagi korban, seperti permasalahan ekonomi, psikologis dan sosial serta kesehatan, karena kekerasan yang dialaminya ataupun karena ketidakmandirian korban berkenaan dengan ketidak seimbangan kekuasaan dalam relasi korban dan pelaku. Ketidak seimbangan kekuasaan inilah yang menyebabkan KDRT seringkali terjadi secara berulang, karena ketergantungan dan ketidak mandirian korban berhadapan dengan pelaku yang dominan.
KDRT juga menyangkut permasalahan perlaku dan sistem nilai yang dianut oleh korban maupun pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang berpegaruh pada ketidak seimbangan kuasa di dalam keluarga. Dalam keluarga yang mengikuti noma budaya patriarkhi akan cenderung menempatkan laki-laki atau suami lebih dominan dalam keluarga dan perempuan atau istri sebagai pihak yang subordinat dalam keluarga. Situasi inilah yang menyebabkan perempuan atau istri lebih rentan dan lebih sering menjadi korban kekerasan dalam keluarga, dan laki-laki atau suami sebagai pelaku kekerasan.
Pemidanaan pelaku seringkali juga tidak berakibat pada terjadinya perimbangan kekuasaan dalam hubungan korban dan pelaku, setelahnya. Pendekatan penghukuman seringkali tidak menyentuh aspek perilaku maupun system nilai dan norma-norma dalam keluarga tersebut. Sehingga sekalipun pelaku telah dipidana, namun tetap berpotensi menjadi pelaku kekerasan, selama perilaku dan nilai-nilai yang diyakininya masih menempatkan dirinya dalam pihak yang dominan dan berkuasa dalam rumah tangga.
Menarik untuk dicermati beberapa syarat substantive yang diajukan oleh Fatahilah A. Syukur di atas, yaitu bahwa pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab dan memperbaiki diri hingga KDRT tidak berulang serta syarat bahwa pelaku wajib mengikuti konseling penyembuhan perilaku kekerasan. Syarat ini menjadi sangat penting mengingat berdasarkan pengalaman Rifka Annisa dalam melakukan konseling perubahan perilaku laki-laki dalam konteks rumah tangga dihadapkan oleh karakteristik pelaku yang tidak mudah untuk diajak bernegosiasi dan menyadari perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kebanyakan laki-laki pelaku kekerasan akan melakukan penyangkalan (denial), menganggap remeh persoalan (minimizing), melakukan pembenaran (justifying), menyalahkan orang lain (blaming others), dan intelektualisasi atau rasionalisasi untuk mendukung tindakannya (intellectualizing). ((Rifka Annisa, bahan bacaan untuk konseling laki-laki dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, naskah tidak dipublikasikan.)) Karakter ini terbangun karena laki-laki dibiasakan menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan yang mendominasi, terutama ketika mereka merasa tidak aman atau terancam. Bagi mereka kekuasaan adalah kekuasaan untuk mengatasi dan kekuasaan untuk mengendalikan. Karenanya untuk merubah perilaku kekerasan, pelaku harus belajar menggunakan kekuasaan secara positif dan kekuasaan secara negative. Pelaku perlu belajar bertanggungjawab atas tingkah-lakunya dan tidak menyalahkan pihak lain atas kekerasan yang dilakukannya. Ia perlu belajar melihat kekuasaan sebagai kekuatan bersama antara dia dan pasangannya dalam rumah tangga, daripada melihat dirinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan mengunakannya untuk mengendalikan pasangan.
Kemungkinan pelaku KDRT untuk mengikuti konseling sebenarnya telah diatur dalam pasal 50 UU PKDRT yang menyebutkan bahwa; “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu dari pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.” Dalam pasal tersebut jelas bahwa kewajiban mengikuti konseling adalah pidana tambahan, yang hanya mungkin dilakukan setelah adanya putusan pidana.
Namun demikian sebenarnya terdapat alternatif atau peluang hukum yang dapat digunakan untuk mewajibkan pelaku mengikuti konseling, baik dalam proses pidana maupun perdata KDRT. Pertama, dalam konteks protection oder atau surat perintah perlindungan sementara, sebagaimana diatur dalam pasal 28-34 UUPKDRT, korban baik sendiri atau diwakilkan dapat mengajukan surat permohonan perintah perlindungan pada pengadilan. Atas dasar permohonan tersebut pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus dalam surat perintah perlindungan, termasuk di dalamnya menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan yang dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Kondisi khusus dan tambahan perintah perlindungan dalam surat perintah perlindungan tersebut dpat berupa pembatasan gerak pelaku dalam radius dan waktu tertentu dari korban.
Kedua, konseling perubahan perilaku sebagai sanksi alternative bagi pelaku KDRT. Mungkin hal ini belum dikenal dalam sistem hukum di Indonesa. Rifka Annisa pernah mendampingi kasus klien laki-laki seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berlibur di Florida, Amerika Serikat, melakukan KDRT terhadap istrinya, berupa pemukulan dan menghalangi istrinya untuk menghubungi kepolisian. Kemudian tetangga hotel dimana ia menginap melaporkan kasusnya ke keamanan hotel, dan kemudian keamanan hotel melaporkannya ke kepolisian setempat. Kasus tersebut ditangani oleh Pengadilan Florida, yang kemudian memutuskan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan KDRT, denda USD 500 atau penjara 1 tahun, dan dianggap telah menghalangi menghubungi pihak berwajib didena USD 1.000 atau penjara 5 tahun. Klien tersebut sempat dikurung semalam di penjara dan kemudian dibebaskan dengan syarat setelah membayar jaminan USD 1.500 dan harus mengikuti konseling perubahan perilaku selama satu tahun. Pengacara klien kemudian menghubungi Rifka Annisa untuk menjadi lembaga pendamping klien mengikuti konseling perubahan perilaku. Selama proses pendampingan, dipantau oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh pengadilan, yaitu Orange.
Pendekatan tersebut menarik, karena pelaku KDRT tidak serta merta langsung dipidana, tetapi ia dapat dikenakan sanksi alternative untuk mengikuti konseling perubahan perilaku, dimana bila dalam proses pendampingan tersebut, dinyatakan klien tidak berhasil melalui proses perubahan periaku, maka sanksi pidana bisa dikenakan. Menariknya selama dalam proses pendampingan konseling, mediasi antara klien (pelaku) dan istrinya (korban) tetap berlangsung. Proses pendampingan yang dilakukan Rifka ini dilaporkan oleh lembaga pemantau independen Orange, dan kemudian dilaporkan ke Pengadilan Florida. Penulis kira pendekatan ini bisa dikaji lebih lanjut untuk diadaptasi bagi pengembangan sistem hukum dalam penanganan KDRT di Indonesia.
Ketiga, dalam konteks KDRT yang mengajukan kasusnya secara perdata di Pengadilan Agama, misalnya berupa gugatan cerai, mandatory konseling perubahan perlaku juga memiliki peluang untuk diajukan pada proses peradilan perdata melalui gugatan provisional. Gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara disamping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.
Kajian lebih lanjut masih harus terus dilakukan, misalnya bagaimana menempatkan mandatory konseling bagi pelaku KDRT ini dilakukan dalam konteks mediasi perkara KDRT baik dalam konteks pidana maupun perdata. Kajian ini penting mengingat bahwa perkara KDRT bisa menyangkut masalah pidana maupun perdata sekaligus. Pendekatan pemidanaan seringkali tidak menyelesaikan masalah, sebagaimana telah disebutkan diawal, bahkan bisa menimbulkan masalah baru. Mandatory konseling bagi pelaku KDRT penting dilakukan agar tujuan UUPKDRT untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terwujud.
*Bagian Konseling Perubahan Perilaku untuk Laki-laki diambil dari tulisan – Mungkinkah Mandatori Konseling bagi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
* Telah dimuat di Rifka Media No. 57