Home Blog Namanya Pierralcy Tampi

Namanya Pierralcy Tampi

0 comments

Namanya Pierralcy Tampi, ayah dari Shera Rindra (pasanganku). Dia juga sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri.

Aku ingat betul saat pertama mengenal beliau di tahun 2009 saat dia berkunjung ke kantor Yayasan Jurnal Perempuan, tempatku bekerja untuk menengok Shera. Jarang sekali aku menemukan orang tua yang sangat peduli dan sayang kepada anaknya sampai datang menengok anak di kantornya. Mungkin karena mereka jarang bertemu sehingga ayah menyempatkan waktu untuk melihat anaknya.

Saat dia datang ke kantorku, awalnya agak segan untuk ngobrol karena di kepalaku sudah ada cap biasanya orang tua itu kolot. Setalah diperkenalkan oleh Shera, kesan awal saat ngobrol dengan ayah adalah seru dan open minded . Kami ngobrol banyak hal soal musik, politik dan isu perempuan. Tentu saja, dalam beberapa hal kami punya posisi atau pandangan yang berbeda. Namun, hal ini tidak membuat kami berdua dalam posisi tidak nyaman. Bahkan ada kalanya kami sepakat untuk tidak sepakat. Dalam hati, seru juga nih kalau bisa jadi orang tua gue. Akhirnya sejak saat itu kami pun menjadi teman. Setiap ayah datang ke kantor, aku selalu berusaha mencari waktu untuk ngobrol sambil ngopi dan merokok.

Saat aku dan Shera akhirnya sepakat membangun relasi, ayah sama sekali tidak memperlakukan ku berbeda. Bahkan sempat merasa GR karena seolah-olah mendapat dukungan. Hehehe… Dia tidak pernah sama sekali menjadi sosok calon mertua yang bertanya “kapan menikah” atau hal lain yang kerap dialami oleh banyak pasangan. Justru ayah memberikan kebebasan ke kami untuk memutuskan apa yang terbaik untuk kami. Gayanya yang luwes terlihat betul saat bertemu dengan bapakku yang boleh dibilang cukup konservatif dalam beberapa hal, terutama dengan agama. Bahkan mereka menjadi cukup akrab setelah itu. Setiap aku bertemu dengan Ayah, dia selalu menanyakan kabar bapak dan menitipkan salam.

Tentu saja, ayah bukan manusia yang sempurna. Seperti manusia yang lain, dia juga punya persoalan. Namun dia selalu berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri. Bahkan sampai akhir hayatnya, ayah menutupi kondisi kesehatan yang menurun. Iya, aku tahu bahwa itu adalah salah satu ciri toxic masculinity dari seorang laki-laki yang gengsi untuk mengakui jika dari dia punya masalah kesehatan. Sudah berulang kali, Shera dan Satria mengajak ayah untuk cek kesehatan namun selalu dia tolak. Alasannya, dia sehat-sehat saja dan nggak ingin merepotkan mereka.

Seandainya kami bisa memaksa ayah untuk cek kesehatan, mungkin saat ini kami lagi nongkrong di warung kopi, salah satu favoritnya. Namun, takdir berkata lain. Biar lah ini menjadi pembelajaran buat kami yang masih hidup.

Selamat jalan Ayah. We love you…

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy