Tadi malam, aku bersama beberapa teman mendapatkan undangan untuk menyaksikan screening film Drupadi di Platinum XXI, FX. Film ini diputar dalam rangkaian kegiatan Jiffest yang ke-10. Sebelum menyaksikan film tersebut, kami sempat bertemu dengan Dian Sastrowardoyo, salah satu produser sekaligus pemain.
Kami berbincang sebentar dengan Dian tentang film tersebut serta beberapa hal lainnya. Dian menekankan bahwa film ini adalah film pertama yang diproduksi bersama-sama dengan beberapa temannya. Selain itu, film ini merupakan ‘percobaan’ untuk membuat film yang beda.
Pembuatan film ini sudah lama aku dengar kabarnya dari beberapa kawan. Aku penasaran untuk melihat hasilnya. Menurut teman-teman, film ini coba mengangkat cerita yang berbeda dari kisah pewayangan salah satu cuplik dari epik Mahabarata.
Film dengan durasi 48 menit diawali dengan perlombaan memanah untuk meminang Drupadi. Saat Arjuna memenangkan, Drupadi menikahi lima orang sekaligus putra Pandawa. Walaupun menikahi lima orang, namun film ini mencoba mengangkat rasa Drupadi pada Arjuna yang begitu mendalam. Dari blog Dian, aku mengetahui bahwa film ini tidak hanya sekedar hubungan Drupadi dengan Arjuna namun juga dengan Bima.
Gugatan sang Drupadi muncul dalam beberapa adegan. Saat Yudhistira menerima ajakan Kurawa untuk bermain Dadu, Drupadi mencoba membatalkannya. Drupadi tahu bahwa mereka akan dijebak dalam permainan dadu yang dilakukan oleh Sangkuni. Sangat jelas, sang penulis skenario berusaha menerjemahkan Drupadi dalam pemaknaan yang berbeda. Drupadi bukanlah Putri Phancala yang manis mengikuti para laki-laki Pandawa.
Konsep kepemilikan seorang suami atas istrinya coba digugat oleh sang Drupadi. Saat Yudihistira sudah kehilangan harga dirinya sebagai seorang pemimpin, tanpa sungkan mempertaruhkan Drupadi layaknya harta benda. Begitu murkanya Drupadi, sehingga para Pandawa tak dapat mengangkat kepala memandang hilangnya kehormatan lambang keangguna Astinapura.
Aku bersumpah….
Demi langit dan bumi
Demi harkatku sebagai puteri agni
Aku tak akan mengikat rambutku
Sebelum mencucinya dengan darah Dursasana
Setelah menyaksikan film ini, terdapat beberapa catatan yang hinggap dalam kepalaku. Film ini sudah cukup baik mengangkat interpertasi ulang atas satu bagian dari epik Mahabarata. Ini bukan satu pekerjaan yang mudah, riset dilakukan untuk membuat interpertasi yang tepat. Nada sumbang yang sempat muncul tak perlu ditanggapi dengan panik. Ancungan jempol harus diberikan buat Dian dan timnya.
Film ini bukan sesuatu yang mudah dimengerti untuk seseorang yang belum membaca atau tahu tentang kisah Mahabarata. Ada kemungkinan kehilangan jejak. Kelihatan juga upaya menggunakan simbol-simbol untuk membuat cerita yang pada tidak kehilangan konteks. Namun, karena terlalu banyak simbol justru membuatku kehilangan konsentrasi.
Seorang teman yang kebetulan juga ikut menyaksikan film ini mengapresiasi film ini berbeda. Menurutnya, film ini tidak jauh berbeda membaca sebuah cerita seorang pengarang terkenal. Kalau tidak salah RA. Kosasih.
Justru buatku, film ini menjadi satu dari sekian banyak upaya dari para sineas Indonesia yang mengangkat sebuah cerita dengan cara pandang yang berbeda, sudut perempuan. Jika selama ini patriakis terus dilanggengkan oleh budaya, maka film ini menjadi upaya memberikan tontonan yang menggugat patriaki!