Hmm… mulai minggu ini, Jakarta akan kembali hiruk pikuk dengan kampanye para calon gubernur (cagub). Mereka akan berkampanye alias menjual kecap nomor satu selama 10 hari dimulai pada tanggal 22 Juli 2007. Jika anda mencari janji yang paling yahud, silahkan baca selebaran dan berbagai media propaganda para cagub, anda tinggal pilih. Masalah realisasi,tunggu dulu, jangan terlalu berharap kata orang tuaku…
Sebelum kampanye ini diizinkan oleh KPUD, “kampanye” sebenarnya telah berlangsung 6 bulan yang lalu. Jika anda cermat, coba balik sedikit memori anda untuk melihat ke masa tersebut. Di berbagai pinggiran jalan, anda akan dengan mudah menemukan wajah mereka yg sekarang sedang sikut-menyikut menuju kursi basah, DKI-1. Tentu saja, mereka tidak terus terang, tetapi memanfaatkan jabatannya sebagai tokoh di sini dan disitu. Toh, belum ada aturan yang melarang…
Kembali lagi pada topik yang ingin aku sampaikan, permasalahan ini adalah realita yang selalu akan ditemui dalam iklim demokrasi. Sebelum lebih jauh, golongan putih (golput) sering dilekatkan kepada mereka yang tidak mengambil haknya sebagai pemilih dalam sebuah pemilihan umum. Golongan inilah yang kerap kali jadi momok bagi mereka yang membutuhkan pemilih tersebut untuk mencapai kekuasaannya.
“Golput itu anti demokrasi” begitu kata sang wapres yang dikutip oleh berbagai media massa! Pernyataan ini dia keluarkan menanggapi kekhawatiran besarnya golput dalam pilkada DKI Jakarta. Wah, pernyataan yang salah! Dalam demokrasi, setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih secara rasional, itu adalah hak, bukan kewajiban! Entah dia mau menggunakan hak pilihnya atau tidak, itu adalah pilihan, terkadang bahkan terkondisikan!
Seorang warga negara yang mempunyai hak pilih dapat mempergunakannya, jika memang berkenan. Seorang pemilih rasional, tentunya mempertimbangkan berbagai hal sebelum menggunakan haknya. Jika dalam proses tersebut dia kemudian memilih untuk tidak menggunakannya, itu adalah kebebasannya.
Nah, yang menjadi masalah sebenarnya adalah banyak warga negara yang menjadi golput karena dikondisikan. Mereka menjadi golput karena hak pilih mereka tidak diakui oleh negara. Sudah menjadi fakta bahwa banyak sekali masyarakat yang tidak terdaftar. Kalaupun mereka terdaftar, mereka kemudian tidak mendapatkan kartu pemilih sehingga tetap saja tidak mendapatkan kesempatan untuk berpartispasi dalam pemilihan umum. Siapa yang salah, apakah pemerintah atau mereka yang tidak mendapatkan kartu pemilih?
Beberapa alasan rasional menjadi seorang golput
Dibawah ini, aku mengemukakan pendapatku berdasarkan kemampuan nalarku.
- Memilih dan dipilih adalah hak politikku, tidak seseorang pun yang dapat mencabutnya saat ini.
- Kenapa aku harus memilih seseorang yang kuanggap tidak mewakili aspirasi politik-ku? Toh, Selama ini tidak ada jaminan jika aku memilih seseorang, maka aku juga bisa mencabut kekuasaannya. Sederhanyanya, mencabut keterwakilanku pada seseorang.
- Apakah ada program yang konkrit untuk perubahan? Tidak ada! Secara nalar sehat, tanpa fanatisme suku maupun agama ataupun ideologi, semua program yang disampaikan oleh juru kampanye hanyalah pepesan kosong, tong kosong, kucing dalam karung dan kecap no. 1. Ujungnya, perebutan kekuasaan antara partai…..!
- Lebih pahitnya, aku terkondisikan tidak bisa memilih. Walaupun aku warga negara, tapi akses untuk merealisasikan hak politikku tidak dipenuhi dengan syarat formil seperti kartu pemilih. Sampai saat ini, aku belum memegang kartu pemilih
Besok adalah hari pemilihan, silahkan anda menggunakan hak anda yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Ingat, dengan rasional. Jika anda memilih untuk tidak memilih, maka lalukan itu dengan kesadaran, bukan karena ketidak-pedulian!
lihat juga Tahukah Anda?
1 comment
yupz..setuju hidup golput…saya juga golput bang….
heeeem
sebel sama pepesan kosong yang di tawarkan..dan lebih sebel lagi sama peng atas namaan peng kaliman agama mayoritas di negeri ini…ups