Tak banyak orang yang mengenalnya di Indonesia, bahkan oleh orang-orang yang sering berteriak tentang pembebasan Palestina. Ironis memang jika menyadari kontribusi Naji Ali kepada perjuangan pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Mungkin sebaiknya mereka belajar dia bahwa persoalan Palestina adalah penjajahan. Tak lebih dan tak kurang…!
Naji Ali dilahirkan pada 1938 (ada juga yang mengatakan 1937) di sebuah kampung bernama Al-Shajara, sebelah utara Palestina dengan nama lengkap Naji Salim al-Ali. Pada saat berumur 10 tahun, dia harus tinggal di kamp pengungsian Ain-al-Helwe, sebelah selatan Libanon. Saat itu, Israel melakukan aneksasi ke wilayah Palestina. Dalam pengungsian, dia bersekolah di Union of Christian Churches hingga selesai. Setelah itu, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah kejuruan White Friars di Tripoli.
Naji Ali hidup di tengah suasana yang keras. Dia mencoba bertahan hidup dengan mencoba berbagai pekerjaan. Hidup di kamp pengungsian telah membangkitkan semangatnya untuk melawan penjajahan yang dilakukan oleh Israel. Seluruh pengalamanya tersebut akan tampil dalam bentuk gambar di kemudian hari serta membnetuk karakternya sebagai seorang seniman. Pada tahun 1959, dia kembali ke Libanon dan bergabung dengan Arab Nationalist Movement. Dia sempat mencoba mengikuti kuliah di Lebanon School of Arts namun tidak selesai.
Pada akhir tahun 1950-an, bakat Naji Ali ditemukan oleh Gassan El-Kanafani, seorang penulis dan aktivis politik pembebasan Palestina saat berkunjung ke kamp pengungsian Ain-al-Helwe. Seperti yang diakui oleh Naji Ali
” I started to use drawing as a form of political expression while in Lebanese jails. I was detained by the Deuxi’me Bureau (the Lebanese intelligence service) as a result of the measures the Bureau were undertaking to contain political activities in the Palestinian camps during the sixties. I drew on the prison walls and subsequently Ghassan Kanafani, a journalist and publisher of al-Huria magazine – he was assassinated in Beirut in 1971 – saw some of those drawings and encouraged me to continue, and eventually published some of my cartoons.“ ((Naji Al-Ali: Immortal Palestinian Cartoonist, http://www.najialali.com/articles.html))
Sejak saat itulah Naji Ali terlibat dengan berbagai aktifitas politik melalui gambarnya. Karyanya selalu mengangkat berbagai persoalan yang mengemuka di jazirah Arab, khususnya di Palestina. Perlawanannya terhadap invasi Israel diwujudkan dalam berbagai karikatur yang dia hasilkan. Karyanya yang satire juga berusaha mengangkat persoalan tidak adanya demokrasi, korupsi yang mewabah dan ketidak setaraan di jazirah Arab. Bahkan dia tidak segan menyindir kelompok perjuangan yang mengatasnamakan Palestina.
Salah satu karyanya yang di jadikan ikon perlawanan Palestina adalah Handala. Naji Ali melukiskan tokoh anak imajiner ini sebagai gambaran dirinya
“The child Handala is my signature, everyone asks me about him wherever I go. I gave birth to this child in the Gulf and I presented him to the people. His name is Handala and he has promised the people that he will remain true to himself. I drew him as a child who is not beautiful; his hair is like the hair of a hedgehog who uses his thorns as a weapon. Handala is not a fat, happy, relaxed, or pampered child. He is barefooted like the refugee camp children, and he is an icon that protects me from making mistakes. Even though he is rough, he smells of amber. His hands are clasped behind his back as a sign of rejection at a time when solutions are presented to us the American way. ((silahkan kunjungi http://www.handala.org/handala/index.html))
Yang menarik adalah Naji Ali tidak terkait dengan simbol ataupun partai politik. ((idem)) Menurutnya, dia sudah mencoba melalui jalur tersebut namun tidak menemukan apa yang dicarinya. Dia ingin secara mengangkat suara masyarakat Arab tanpa embel dogma atau jargon politik. Akibatnya, ditangkap dan penjara adalah hal yang biasa bagi Naji Ali. Ancaman mati bahkan ratusan kali diterimanya namun ditanggapinya dengan dingin. Dia harus sering berpindah tempat tinggal untuk mengindari ancaman terhadap hidupnya. Sampai akhirnya dia menetap di London, Inggris.
Pada 22 Juli 1987, ancaman tersebut menjadi kenyataan. Naji Ali ditembak di kepala oleh dua orang pelaku di tepat depan kantornya. ((BBC, Cartonist Shoot in London Street)) Dia wafat setelah 38 hari menjalani perawatan secara intensif. Sampai saat ini, motif pembunuhannya masih kabur. Satu versi percaya bahwa Mossad, badan intelejen Israel berperan dalam kematinnya. Namun di sisi lain, PLO juga dituding terlibat karena beberapa hari sebelum penembakan dia di ancam akibat karyanya yang mengkritik Yasser Arafat.
Kematiannya menjadi bukti keteguhan hatinya mengecam berbagai tindakan ketidakadilan yang terjadi di Jazirah Arab. Tidak perduli siapa pun, saat melakukan ketidakadilan harus dilawan. Kartun bukan hanya sekedar karya seni namun sebuah alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Setahun setelah kematiannya, Naji Ali dianugrahi “Pena Emas” oleh International Federation of Newspaper Publishers (FIEJ) pada tahun 1988