Beberapa waktu yang lalu, aku diminta oleh seorang teman untuk membantunya memfasilitasi pelatihan pemantauan pelanggaran HAM. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyanggupinya meskipun hanya mendapatkan imbalan terima kasih. Kebetulan, sudah lama sekali aku dan temanku tidak bertemu dan ada hal yang ingin kami diskusikan.
Aku pikir, seperti pelatihan-pelatihan yang lain sehingga aku tidak bertanya banyak kepada temanku, misalnya isu, peserta dan hal teknis lainnya. Walhasil saat tiba di tempat pelatihan, aku cukup kaget karena merasa kurang persiapan. Isu yang diangkat adalah pemantauan pelanggaran HAM terhadap pengguna Narkotika dan Zat Adiktif (NAPZA) dan pesertanya berasal dari beberapa organisasi yang memiliki fokus kerja pada Harm Reduction. Dalam proses pelatihan, aku baru tahu bahwa beberapa peserta adalah pengguna aktif yang saat ini sedang menjalani rehabilitasi.
Belajar Bersama
Selama ini, pelatihan yang aku berikan tidak jauh dari topik hak tersangka, kebebasan beragama dan pelanggaran HAM masa lalu. Topik mengenai NAPZA dan persoalan di sekitarnya adalah hal yang baru buatku sehingga banyak hal yang aku pelajari selama pelatihan. Meskipun aku pernah membantu Capacity Building untuk beberapa organisasi yang bergerak di bidang harm reduction, namun lebih banyak di isu HIV/AIDS.
Demikian juga sebaliknya, ternyata sebagian dari para peserta yang telah lama bekerja di wilayah ini tidak memahami HAM, baik secara konsep maupun instrumen-instrumenya. Memang beberapa di antara peserta sudah sering mendapatkan pelatihan mengenai HAM namun masih minim digunakan untuk membangun argumen dalam kampanye maupun advokasinya.
Ya, aku melihat proses bersama dalam pelatihan ini adalah belajar bersama. Aku mendapat banyak pengetahuan baru, khususnya mengenai persoalan yang dihadapi oleh para pengguna NAPZA di Indonesia. Selama ini, aku tidak menganggap bahwa persoalan yang mereka hadapi sebagai persoalan serius. Hal ini tidak terlepas dari streotype yang melekat pada mereka yang ternyata cukup mempengaruhi cara berpikirku selama ini.
Pengguna Napza tetap Manusia
Aku tidak akan masuk pada wilayah perdebatan apakah menggunakan NAPZA benar atau salah. Buatku, pilihan menggunakan NAPZA atau tidak adalah sebuah pilihan sadar dari tiap manusia seperti merokok atau tidak. Jika seseorang kemudian memilih untuk menggunakan NAPZA, maka tidak berarti mengurangi esensinya sebagai manusia yang bermartabat dan memiliki hak yang sama dengan orang lain. Tidak ada satu orangpun yang dapat mencabut hak-hak fundamental mereka.
Dalam tulisan ini, aku akan menempatkan pengguna NAPZA sebagai korban yang tidak terpenuhi hak fundamental mereka.
Dari para peserta pelatihan, aku mendapatkan berbagi cerita pengalaman mereka berurusan dengan aparat berwenang.
Penangkapan sewenang-wenang dan pemerasan.
Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Pasal 9, ayat 1 ICCPR
Para pengguna NAPZA seringkali ditangkap tidak sesuai dengan prosedur penangkapan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pola ini kerap digunakan oleh aparat kepolisian. Dari pengalaman para peserta, polisi sering menangkap mereka tanpa surat penangkapan yang sah. Bahkan surat pemberitahuan kepada keluarga seringkali tidak sampai kepada keluarga.
Beberapa peserta juga menceritakan pengalaman mereka ditangkap karena barang bukti yang “ditanam”. Mereka seringkali dijebak oleh oknum kepolisian saat tertangkap tanpa membawa barang bukti. Seorang peserta bercerita bahwa saat dia digeledah oleh polisi, tiba-tiba di saku celananya ditemukan shabu. Padahal saat itu dia sama sekali tidak membawa apapun NAPZA apapun. Tentunya kita masih ingat rekayasa kasus Aan, yang dituduh sebagai pengedar oleh kepolisian. ((http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1047))
Setelah ditangkap, para pengguna NAPZA biasanya diperas oleh pihak kepolisian. Modus yang paling sering terjadi adalah mereka ditawarkan untuk”berdamai” dengan cara membayar uang dalam jumlah yang cukup banyak. Jika korban tidak bisa memenuhi, maka orang tua atau keluarga korban kemudian mereka hubungi untuk berdamai. Tentu saja semuanya dengan “paksaan” agar kasus tersebut 86. ((istilah yang sering digunakan untuk penyelesaian kasus))
Jika kasusnya cukup besar dan sulit diselesaikan di luar pengadilan, maka modusnya adalah “jual beli” pasal dalam kasus. Pada tahap ini, bukan hanya pihak kepolisan yang terlibat sebagai penyidik tapi juga kejaksaaan. Dikarenakan minimnya pengetahuan tentang hukum, banyak diantara mereka kemudian memberikan uang kepada polisi, jaksa dan hakim. Ironisnya, seringkali pengacara yang seharusnya membela hak korban justru terlibat dalam proses ini.
Penyiksaan
Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Pasal 7, ICCPR
Tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para pengguna NAPZA adalah temuan yang unik dalam proses pelatihan. Mayoritas dari kasus yang diangkat oleh para peserta terjadi tindakan penyiksaan. Walaupun awalnya para peserta agak kebingungan membedakan antara tindakan penganiayaan dan penyiksaaan dalam proses penangkapan dan penahanan, mereka akhirnya paham.
Dalam pelatihan tersebut memang tidak dapat didalami lagi bagaimana bentuk penyiksaan yang dialami oleh para pengguna karena terbatasnya pencatatan yang mereka lakukan. Yang pasti, para pengguna NAPZA yang tertangkap selalu dipaksa untuk mengakui atau menunjukkan pengguna lain atau bandarnya. Pemaksaan tersebut kemungkinan dilakukan dengan cara mengancam maupun tindakan kekerasan seperti kasus-kasus yang pernah aku pantau seperti di hak-hak tersangka.
Persoalan penyiksaan yang terjadi dalam “Wars on drugs” ternyata sudah menjadi persoalan internasional. Aku mengetahuinya saat menyaksikan web-cast dari THE APT GLOBAL FORUM ON THE OPCAT . Seorang peserta dari forum tersebut mengangkat bahwa metode penyiksaan menjadi hal yang lumrah dalam “drugs war” di wilayah Amerika Latin. Persoalan ini harus menjadi perhatian serius dari dunia internasional.
Penahanan
Sebenarnya, aku tidak terlalu paham prosedur dan mekanisme penanganan hukum kasus narkotika. Aku masih bertanya apakah prosedur dalam UU. No. 35/2009 tentang Narkotika memliki perbedaan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? Mungkin saja, karena UU No. 35/2009 adalah UU lex specialis.
Seperti kasus-kasus yang lain, para pengguna NAPZA kerap kali ditahan secara sewenang-wenang alias tidak sesuai dengan prosedur hukum. Namun aku tidak akan membahas masalah ini melainkan beberapa masalah yang muncul dalam diskusi bersama peserta.
- Dalam penahanan dan pemenjaraan, tidak ada pemisahan antara pengguna dan bandar. Menurut para peserta, penjara akhirnya menjadi tempat bertemunya antara konsumen dan suplier.
- Para pengguna NAPZA tidak mendapatkan akses kesehatan yang memadai. Padahal pada masa-masa tertentu, mereka membutuhkan tindakan medis segera.
Catatan Bersama
Dari keseluruhan proses pelatihan, aku menyadari bahwa selama ini para penggiat yang bergerak di isu NAPZA melupakan aspek pendokumentasian dalam kerja mereka. Seiring dengan perkembangan gerakan, pendokumentasian menjadi penting agar advokasi dan kampanye bisa lebih ‘berbunyi’ dengan data dan informasi yang mereka miliki. Sinergi antara gerakan sosial juga menjadi penting agar dampak dari advokasi dan kampanye dapat lebih besar.
Jika anda membutuhkan informasi terkait isu ini, silahkan kunjungi
- Majalah NAPZA – http://napzaindonesia.com/
- EAST JAVA ACTION (EJA) – http://eastjavaaction.org/
2 comments
Hi Syaldi,
Makasih tulisannya. Mayoritas aktivis HAM yang saya temui, belum menganggap permasalahan pelanggaan HAM yang dihadapi pengguna/pecandu NAPZA sebagai salah satu isu penting yang perlu diangkat. Mungkin karena belum mendalami benar latar belakang bagaimana seseorang bisa menjadi pengguna dan akhirnya menjadi pecandu. Semua ada hubungan dengan buruknya kebijakan NAPZA di Indonesia maupun Internasional, tidak melulu merupakan pilihan individu tersebut.
Pelanggaran HAM pada pengguna/pecandu NAPZA telah terjadi belasan tahun tanpa ada pihak-pihak yang mengaku pemerhati/aktivis HAM yang melirik atau peduli.
Semoga segera bisa masuk agenda kerja pihak-pihak yang berkecimpung di ranah HAM.
sebenarnya krn pengguna napza tdk bersatu untuk melawan kezaliman,mrk hnya diam dan pasrah,dan stigmah dr masarakat yg melekat,yg di bangun oleh penguasa,bahwa kita adalah “sampah”.sudah saatnya kita bersatu untuk,untuk meluruskan cara pandang orang lain pada kita lewat wadah spt LGN kita manfaatkan sebaik mungkin,untuk kepentingan bersama