Home Meja Kerja Keadilan Setengah Hati

Keadilan Setengah Hati

0 comment

Setelah sekian lama berjuang untuk menuntut hak-haknya, korban dan keluarga korban kini memperoleh hembusan kecil angin pengharapan dengan dibentuknya Tim ad hoc Komnas HAM untuk menyelidiki kasus 13-14 Mei 1998. Betapa tidak, setelah ”mondar-mandir” menuntut keadilan, kali ini peristiwa berdarah 13-14 Mei 1998 kembali diperiksa setelah lima tahun tidak lagi menjadi bahan pembicaraan.
Tim ad hoc Penyelidik kasus 13-14 Mei 1998 yang dibentuk oleh Komnas HAM adalah institusi resmi kedua yang melakukan penyelidikan peristiwa berdarah yang terjadi di ujung kekuasaan Rezim Orde Baru setelah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintahan B.J. Habibie.
Pada masa pembentukannya, TGPF memperoleh dukungan yang amat luas dari masyarakat, lebih-lebih dari kalangan korban. Sebagian besar masyarakat berharap agar tim yang beranggotakan dari unsur pemerintah dan masyarakat ini dapat mengungkap seluruh rantai kekerasan dalam peristiwa tersebut.
Namun harapan masyarakat dan juga harapan para korban ternyata masih tergantung di langit. Pembentukan TGPF tidak lebih dari usaha pemerintahan yang baru berkuasa untuk menunjukkan bahwa seolah-olah ia peduli terhadap para korban. Sebab setelah TGPF menyelesaikan tugasnya, pemerintah tidak pernah melakukan upaya lanjutan untuk menjalankan rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh TGPF. Seolah-olah pemerintah telah menunaikan tanggung jawabnya dengan membentuk TGPF tanpa harus memperhatikan hasil temuannya.
Tim ad hoc Penyelidik Kasus Mei
Tanggal 6 Maret 2003 Komnas HAM membentuk Tim ad hoc untuk menyelidiki kasus Mei 1998. Pada Tim ad hoc tersebut kembali korban dan keluarga korban serta masyarakat berharap peristiwa 13-14 Mei dapat diusut secara tuntas oleh tim ini yang memiliki masa kerja 7 bulan terhitung sejak tanggal didirikannya.
Tanpa bermaksud mendahului kemungkinan yang akan terjadi dimasa datang, nampaknya korban harus siap menerima kembali pupusnya harapan yang selama ini telah mereka genggam. Kesimpulan ini diukur dari kinerja dan dinamika yang terjadi selama masa kerja Tim ad hoc baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Dalam masa kerjanya, Tim ad hoc Penyelidik telah beberapa kali melakukan kebijakan bongkar pasang anggota tim asistensi. Hal ini jelas berpengaruh pada solidnya sistem pengorganisasian data dan informasi yang akan digunakan oleh anggota komisioner Tim ad hoc ini. Dengan adanya bongkar pasang maka seorang anggota baru harus mampu beradaptasi dengan sistem yang sudah ada, yang belum tentu sesuai dengan gayanya bekerja. Kalaupun ia harus merubah sistem yang sudah ada maka ia harus memulai kembali dari awal dan ia pun harus melihat batas waktu yang ada.
Belum lagi minimnya jumlah saksi yang memberikan kesaksian. Baik saksi peristiwa maupun saksi korban, termasuk penolakan untuk memberikan kesaksian oleh saksi yang berasal dari kalangan pejabat atau mantan pejabat sipil dan militer. Penolakan untuk memberikan keterangan oleh kalangan TNI lebih disebabkan masih kuatnya arogansi militer dalam kehidupan bernegara. Padahal kalaupun mereka datang memenuhi panggilan, kapasitas mereka hanyalah sebagai saksi, bukan sebagai tersangka. Sehingga jika kita menggunakan logika berfikir terbalik, dengan tidak maunya kalangan TNI memberikan keterangan sebagai saksi, seolah mereka sudah mempunyai gambaran bahwa kelak mereka pasti akan ditempakan sebagai tersangka.
Padahal, tanpa keterangan mereka pun jika fakta-fakta menunjukkan bahwa mereka harus bertanggung jawab atas peristiwa 13-14 Mei 1998, ketidakhadiran mereka dalam memberikan kesaksian tidak akan menganulir hasil temuan tersebut. Yang tidak dicermati oleh kalangan TNI adalah bahwa sebenarnya proses pemberian keterangan di depan Tim ad hoc dapat ia gunakan sebagai media klarifikasi, jika memang benar bahwa mereka tidak terlibat dalam peristiwa 13-14 Mei 1998
Hal lain yang sangat berpengaruh dalam proses pengungkapan kasus dan justru tidak terjadi pada tim ad hoc adalah dukungan politik dari pemerintah. Selama masa penyelidikan kasus 13-14 Mei 1998, tidak satupun ada keputusan politik dari pemerintah yang menunjang kerja tim ad hoc untuk menyelidiki kasus 13-14 Mei. Jangan lagi keputusan politik, untuk memenuhi panggilan Tim ad hoc pun Yusril Ihza Mahendra “ogah” hadir. Penolakan permohonan Tim ad hoc oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dilakukannya pemanggilan paksa terhadap para saksi dari kalangan TNI adalah peristiwa penting yang mencerminkan bahwa sistem peradilan kita memang tidak kondusif untuk penegakkan Hak Asasi Manusia.
Dalam sistem hukum Indonesia, tahap penyelidikan adalah tahap awal untuk pengungkapan sebuah kasus. Masih ada tahap berikutnya yang harus dilewati, yang kinerjanya belum tentu lebih baik dari kinerja Tim ad hoc Penyelidik Kasus 13-14 Mei 1998, mungkin saja malah lebih buruk.
Setelah mengalami 2 kali perpanjangan masa kerja, tanggal 7 September 2003 masa kerja Tim ad hoc berakhir. Setelah melalui pleno, hasil penyelidikan tim ini akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk dimulainya langkah penyidikan dan penuntutan. Ada dua hal yang perlu kita cermati dalam proses ini, pertama adalah mengenai laporan hasil penyelidikan Tim ad hoc Penyelidik Kasus 13-14 Mei 1998 yang berisi rekomendasi dan kesimpulan tim. Kedua, apakah Kejaksaan Agung berani melakukan peneriksaan lebih lanjut jika dalam laporan Tim ad hoc Penyelidik kasus 13-14 Mei 1998 menemukan fakta bahwa pada peristiwa 13-14 Mei 1998 telah terjadi pelanggaran berat HAM.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy