Sahabat,
Apa yang kau rasakan saat seorang ibu bertanya kepadamu, apakah kau mengetahui sebuah tragedi yang terjadi pada bulan Mei 6 tahun yang lalu? Kau mungkin akan menjawab dengan sederhana “Bukankah saat itu terjadi kerusuhan di Jakarta?” atau mungkin tidak tahu sama sekali tanpa ekspresi. Si ibu mungkin akan tersenyum walaupun kecut.
Kau mungkin tak tahu, dia adalah salah seorang ibu dari korban Tragedi Mei 1998. Baginya, peristiwa itu tidak pernah akan mereka lupakan. Peristiwa tersebut telah menorehkan trauma yang mendalam. Walaupun penguasa berusaha menghapusnya, ingatan kolektif tersebut akan terus hidup.
Ibu tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak korban yang jatuh pada saat itu. Ibu tersebut mungkin tidak menyangka bahwa anaknya akan menjadi salah satu korban dalam sebuah kerusuhan massal yang terencana.
Sahabat,
kalau kau masih mendengarkan, ibu tersebut hanyalah orang biasa seperti kita. Bukan satu hal mudah untuk seorang ibu yang harus kehilangan anaknya yang telah dia besarkan dengan keringat dan harapan. “Saya sebenarnya tidak tahan kalau mengingat peristiwa itu kembali.” ucapnya pada suatu hari. “Tapi ibu inginkan kebenaran dari peristiwa ini. Keadilan harus ditegakkan”.
Berbekal harapan tersebut, rasa trauma diolah oleh sang Ibu menjadi semangat. Sang ibu tidak segan mendatangi puluhan kantor-kantor instansi pemerintah, kepolisian dan militer untuk mendesak proses penyelesaian kasus. Janji kosong, kebohongan, caci-maki bahkan kepalan tangan, popor senapan dan ancaman dengan sabar tetap dihadapinya dengan keyakinan.
Proses hukum yang diharapkan oleh sang ibu seakan menjadi tak berujung. Sang ibu bersama kawan-kawannya tak kuasa menghadapi jegalan dari para penguasa yang tidak menginginkan terungkapnya kebenaran atas Peristiwa Mei ’98. Sang ibu hanya dapat menyaksikan penguasa yang mencoba bermain dengan hukum melalui “tangan-tangannya”.
Sahabat,
ada satu masa sang ibu menyadari bahwa keluarganya telah menjadi bagian dari masyarakat yang dikorbankan demi kekuasaan. Namun dia sadar bahwa dia tidak dapat berjuang sendiri. Sang ibu kemudian mulai berkumpul dengan keluarga korban lainnya yang sedang berjuang. Yang patut kita ancungi jempol, dia tak pernah lelah mengajak orang lain untuk bergerak bersama. Aku sendiri terkadang malu di dalam hati, semangatnya melebihi semangat anak muda seperti kita.
Satu, dua, tiga tahun, enam tahun waktu terus berlalu … sang ibu mulai berjuang bersama dengan korban kasus yang lain. Ada satu perasaan yang sama mengikat mereka, korban yang berjuang untuk meraih keadilan dan kebenaran. Perbedaan-perbedaaan diantara mereka yang dulu menjadi sekat kemudian melebur saat mereka berbicara dalam satu bahasa, “bahasa korban”.
Sahabat,
Dalam sebuah obrolan santai, sang ibu menyayangkan adanya usaha dari beberapa kelompok untuk membelokkan Peristiwa Mei sebagai kerusuhan rasial. Tentu saja, usaha ini akan didukung oleh pihak yang tidak mau bertanggung jawab terhadap Peristiwa Mei sehingga peristiwa tersebut dibuat seolah-olah menjadi kerusuhan diantara masyarakat.
Sahabat,
Kita sudah terlalu sering mendengarkan para tokoh berbicara tentang satu tragedi. Namun, tidak mudah juga bagi kita untuk mengenal dan bahkan memanusiakan mereka yang telah menjadi korban. Malam ini, sang ibu dan kawan-kawannya berkumpul di tempat ini. Kini saatnya kita mendengarkan korban bertutur dalam bahasanya sendiri “bahasa para korban”….
12 Mei 2004
baca kronologi tragedi mei 1998
509
previous post
1 comment
Kerusuhan Mei sudah direncanakan, Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR memang diatur, Si Babi Soeharto mengundurkan diri memang bagian dari skenario, dengan embel-embel Reformasi kita merayakan kemenangan Demokrasi dan Tirani yang runtuh, tapi sesungguhnya belum apa-apa dan memang tidak terjadi apa-apa. Terbukti dengan nyata bahwa sampai saat ini kita masih ada di zaman yang sama, zaman militerisme, korupsi, manipulasi dan kolusi, ZAMAN ORDE BARU…