Selepas kerja, ribuan sepeda motor, dan bahkan ratusan ribu mungkin, padat memenuhi setiap lekak dan liku jalan-jalan di kota Jakarta. Rasanya sesak. Entah keburukan macam apa yang kan berlangsung di tengah kepulan asap lewat baris panjang knalpot kendaraan bermotor. Suasana tampak menggelisahkan saat para pengguna sepeda motor tidak cukup sabar menanti lampu merah berganti warna hijau. Bel dan klaksonnya silih berganti bersuara menumbuk hantam gendang telinga masing masing insan yang berada di jalanan Kampung Melayu arah Cawang. Saat lampu kuning menyala, yang berlaku selanjutnya lebih serupa wabah kebulatan tekad merebut setiap ruang kosong di jalan raya. Mereka yang berada di bagian depan barisan memacu kencang kendaraannya. Sedang yang di tengah dan yang di belakang saling potong, saling menelikung siapapun yang berada di sampingnya. Bukan jarang lagi kalau di pinggir jalan terjadi keributan di antara sesama pengendara. Si A menyerempet si B, dan si C menubruk si D dari belakang. Roda depan sepeda motor si E melindas jari kaki sebelah kiri si F, dan sebagainya, dan sebagainya. Apa yang tampak kemudian adalah keresahan demi keresahan yang melanda masyarakat kota Jakarta. Siapakah para pengendara ini? Kaum pejuang kehidupan kah?
Kemacetan dan polusi, sebagaimana juga kebisingan dan kepelikan hidup di Jakarta, tak ubahnya lagu lagu yang tak mudah didengar. Tetapi bagi masyarakat kampung kumuh Prumpung lagu Kucing Garong harus diputar keras keras, hingga gedebak gedebuk suara bass nya terdengar hingga di ujung jalan. Mungkin gumam cita-cita kesejahteraan perlu dienyahkan dari pikiran seseorang yang tinggal di kampung itu, dan impian ritmik dangdut menggantikannya. Sungguh tak mengganggu suara itu bagi anak anak kampung yang berlarian di antara koloni lalat, yang mengelilingi selokan bau basi sisa makanan. Bukan sebuah problem yang berkesinambungan bagi mereka, walaupun ancaman penyakit dan kemiskinan melanda. Siapakah mereka? Kaum penikmat kehidupankah?
Dua pekan lagi, KONPERENSI WARISAN OTORITARIANISME II – DEMOKRASI DAN TIRANI MODAL akan berlangsung di FISIP UI, Depok. Tepatnya tanggal 5-7 Agustus bertempat di gedung H Fisip UI. Sejumlah pembicara termasyhur seperti Syafii Maarif dan Sri Edy Swasono akan berbicara banyak hal tentang kehidupan negeri yang kian terperosok ke jurang kedangkalan. Keutamaan manusia dalam alam tirani modal tampaknya mulai dipanggang gosong diganti kesadaran menabrak-nabrak apapun yang menghalangi jalan hidup seseorang. Tak peduli siapapun, asal menghalangi jalanku, hajar habis! Seperti logika Darwin yang mengandaikan kemajuan sebagai hasil dari kesadaran akan kemajuan dan kekuatan fisik: survival of the fittest. Soalnya kemudian, sampai kapan kemampuan survival manusia itu dapat direstui oleh Tirani Modal?
Sudah cukup lama masyarakat di sekitar Pondok Gede menikmati air bersih dari pompa pompa elektrik mereka. Maklum cadangan air di kawasan tersebut ditampung di sebuah tanah luas di sebelah Taman Mini. Tapi dua tahun yang lalu, sebuah proyek pembangunan Mall menduduki tanah luas tersebut. Alhasil masyarakat kehilangan sumber airnya dan harus berlangganan air PAM. Apakah tidak mungkin proyek pembangunan itu ditentang? Sulit, karena proyek pembangunan tersebut juga menyediakan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar Pondok Gede. Mereka tak mengira kalau akibatnya berpengaruh terhadap sumber air mereka. Banjir mulai melanda kawasan tersebut karena tidak ada lagi tanah serapan. Sejumlah penyakit menular mewabah, dan rombongan anak jalanan yang menggelandang kian bertambah jumlahnya. Kemacetan, polusi, kebisingan, dan kesulitan hidup semuanya berpadu. Kali ini tanpa ritmik dangdut, sang Kucing Garong melalap apapun yang tampak di depan mata…..
Jangan Lewatkan!
KONPERENSI WARISAN OTORITARIANISME II
DEMOKRASI DAN TIRANI MODAL
FISIP UI , 5-7 AGUSTUS 2008
Informasi selanjutnya klik di http://konferensi-otoritarianisme2008.blogspot.com/
548
previous post
1 comment
[…] juga: http://www.syaldi.web.id/?p=130 Catatan kakiseseorang yang ditugaskan oleh satu organisasi/pihak untuk melakukan pencatatan dari […]