Malam ini, aku tiba-tiba teringat satu potongan percakapanku dengan seorang teman tentang pekerjaan. Entah apa penyebabnya, mungkin saat itu dia baru dipecat dari kantornya. Temanku mengatakan “Gue pengen banget nih kerja di Sudirman”. Aku nyeletuk dengan asal “Lho, kok pengen banget? Emang gajinya lebih gede“? “Nggak tau, gue sih ngerasa lebih OK aja kerja di sana, pakaian rapi, pake’ dasi, keren kan”! jawabnya. Aku jadi penasaran “Lah, cuman itu? Kalo gajinya kecil, gimana”? “Nggak masalah, yang penting kerja di Sudirman” tukasnya dengan mimik lesu. Aku tidak menimpali lagi karena kebingungan.
Aku ingat, percakapan itu sudah lewat dua tahun yang lalu di teras TRK. Aku dan temanku yang lain sedang nongkrong sambil mengisap batangan rokok ditambah dengan kopi pekat. Saat itu, aku masih menjabat sebagai kordinator TRK. Temanku tadi, sebutlah X, adalah salah satu relawan yang non-aktif. Di masa itu, aku tengah menikmati kesibukanku sebagai seorang aktifis; wara-wiri, ke sana kemari untuk urusan kemanusiaan. X saat itu baru dikeluarkan dari kantornya di bilangan Roxi. Dia memang tipikal pekerja kantor yang asyik dengan rutinitas.
Percakapan itu kerap menggangguku. Seperti malam ini, aku bertanya magnet apa yang dimiliki Sudirman? Apakah karena Sudirman adalah pusat bisnis? Mungkin saja, atau ada prestise lain yang dikejar temanku? Atau mungkin saja dia yang gila!
Saat ini, aku bisa menjawab premisku yang terakhir tidak tepat. Mengapa? Ternyata temanku ini tidaklah seorang diri. Aku melihat dan mendengar dari berbagai sumber bahwa keinginan temanku itu juga menjangkiti banyak orang. Walaupun motifnya tidak sama persis, namun arahannya tidak jauh berbeda; prestise, wealthy dan beberapa alasan lainnya.
Saat percakapan itu terjadi, aku adalah seorang pengacara (pengangguran banyak acara). Tidak ada dalam kamusku kata income yang tetap. Uang untuk bertahan hidup ala kadarnya ku dapatkan dari ‘menjual’ kemampuanku yang terbatas. Jauh dari nilai cukup tapi harus cukup. Sementara si X, sudah cukup mapan untuk ukuranku. Satu titik kesempurnaan lah dari sekian banyak titik sempurna di dalam dunia.
Adalah sebuah kenyatan bahwa kawasan Sudirman-Thamrin adalah pusat bisnis di Indonesia. Detak jantung Indonesia mungkin saja diatur dari kawasan ini. Otomatis, kondisi ini menjadi magnet bagi para kelas pekerja dan proletar. Di sini pula berkumpul para borjuis kecil dengan mimpi untuk melakukan perbaikan derajat sosial.
Oke lah, tidak ada yang salah dengan keinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan dan menikmati kesenangan dunia. Yang menjadi masalah kemudian, temanku ini secara sadar menyerahkan kebebasannya sebagai manusia. Dia akan ditaklukkan oleh sistem kapitalis. Secara otomatis, dia akan teralienasi dari kehidupan sosial. Kemampuan dan dan kreatifitasnya harus dimatikan oleh manejemen perusahaan demi efektifitas dari perputaran kapital. Walalupun dia punya skil A, B, C, dan D, jika perusahaan hanya butuh C, maka A, B, dan D harus di”matikan”.
Sutan Syahrir pernah menulis “kita masih bertingkah sering laku seperti manusia yang belum matang; kita masih terlalu bergantung pada kebahagian yang langsung” ((Eko Prasetyo; Agama bukan Candu, Resist Press)). Mungkin, kata ini tidak hanya berlaku buat kawan ku X akan tetapi juga pada diriku. Kapitalisme telah menjebak kita dalam lingkaran konsumsi demi kebrlangsungan produksi. Ada produksi, ada modal yang berputar. Artinya, dari konsumsi akan ada laba yang dihasilkan. Kita terjebak dalam keinginan akan benda yang kita impikan dengan mencari secuil nilai lebih dari proses produksi. Kita hanya menjadi baut usang dalam rangkaian mekanis perputaran kapital.
Aku mungkin terlalu kasar melihat masalah di atas. Akan tetapi, aku hanya miris dengan terjebaknya X dalam roda jaman. Dia mungkin berusaha untuk mencapai keinginannya bekerja di bilangan Sudirman, atau mungkin di tempat lainnya. Pada saat itu pula, tanpa dia sadari bahwa dia kembali menjadi bagian dari “pembunuh” kemanusiaannya dan eksistensinya sebagai manusia.
513
previous post