Home Beranda Buruh Melawan; Sebuah Catatan Pribadi

Buruh Melawan; Sebuah Catatan Pribadi

1 comment

Tulisan ini berawal saat membaca kultwit @purplerebel yang membahas tentang alasan mengapa buruh melawan dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional 2012. Aku langsung teringat pengalaman saat menjadi buruh sebuah perusahaan di bilangan Jakarta Pusat pada 1997 – 2000. Sampai saat ini, aku ternyata belum menuliskan pengalaman tersebut. Padahal ini adalah salah satu momen di mana aku mulai memahami persoalan yang dihadapi oleh buruh dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman.

Aku sudah lupa kapan tepatnya aku mulai bekerja di perusahaan tersebut. Yang kuingat, aku mulai bekerja di perusahaan tersebut tidak lama setelah tiba di Jakarta. Artinya aku mulai bekerja di akhir tahun 1997. Perusahaan ini bergerak di bidang Freight Forwarding yang dimiliki oleh salah satu kerabatku. Makanya tidak heran, aku bisa dengan mudah diterima bekerja di perusahaan.

Jangan membayangkan sebuah pekerjaan idaman anda, aku mulai bekerja di perusahaan tersebut sebagai buruh panggul. Tugasku adalah melakukan bongkar muat barang yang dikirim dari produsen pesanan konsumen untuk masuk pengepakan. Barang-barang tersebut beragam, mulai dari tekstil hingga berbagai perlengkapan rumah tangga lainnya. Namun lebih banyak barang yang ditangani adalah tektil seperti pakaian, celana, jeans dan tekstil. Setelah semua barang tiba, kami kemudian memuatnya ke dalam kontainer untuk dikirim ke negara konsumen.

Mengapa Buruh Melawan

Setiap hari, aku dan kawan-kawan buruh membongkar muatan dari truk atau kendaran pengantar lainnya lalu memindahkannya ke dalam gudang. Saat awal bekerja, terus terang aku kewalahan. Karung atau roll tekstil yang harus aku angkut beratnya bisa lebih dari berat badanku saat itu. Belum lagi harus melakukan pengepakan untuk kargo laut maupun udara. Bukan pekerjaan yang mudah dan sangat berbahaya.

Jam kerja kamipun tidak menentu, kami masuk jam 09.00 hingga 19.00, dari senin hingga Sabtu. Namun pada kenyataanya sangat tergantung pada situasi. Aku pribadi jarang sekali bisa pulang di bawah jam 5 sore, bahkan di hari Sabtu. Terkadang proses loading barang ke kontainer membutuhkan waktu yang sangat lama. Apalagi di saat peak season (Mei-Juni, September-Desember), bisa-bisa kami bekerja hampir 18 jam/hari. Seringkali aku dan kawan-kawan menginap di gudang karena kelelahan dan kemalaman.

Saat mulai bekerja, upah yang diberikan saat itu adalah Rp. 250.000/bulan ditambah Rp. 5.000/hari sebagai uang makan dan transport. Sementara yang sudah lama bekerja, rata-rata mendapat Rp. 350.000/bulan. Jika tidak masuk, maka jumlah upah dan uang makan akan dipotong. Ada juga uang lembur, kalau tidak salah saat itu kami dibayar Rp. 5.000/jam.

Aku dan kawan-kawan harus mulai kerja tepat jam 9.00. Jika kami terlambat maka konsekuensinya adalah pemotongan uang makan plus semprot dari kepala gudang. Saat ada barang konsumen yang hilang atau kurang, maka kamilah yang harus menggantinya. Jangan bertanya mengenai tunjangan, hanya itulah yang kami terima. Saat itu, aku hanya menerimanya dan berpikir semua itu hal yang lumrah.

Saat itu aku tidak terlalu perduli dengan besaran upah yang kudapatkan. Buatku, nilai tersebut sudah cukup buat kebutuhan pribadi. Aku tinggal di rumah Oma dan tidak perlu memikirkan pengeluaran lain selain rokok dan jalan-jalan sehingga tidak terlalu terasa. Namun aku terhenyak saat di satu kesempatan ngobrol santai dengan kawan-kawan lain, terutama yang sudah berkeluarga. Satu teman pernah bercerita bahwa dia harus menghidupi istri dan 3 orang anaknya. Dengan gaji yang diterimanya tiap bulan sudah pasti tidak cukup untuk kebutuhan mengontrak rumah, kebutuhan sehari-hari termasuk makan dan sekolah anaknya. Bahkan ketika istrinya pun kemudian bekerja sebagai buruh cuci dan pekerja rumah tangga, penghasilan mereka tetap tidak cukup untuk menutupi kebutuhan mereka. Walhasil prinsip gali lubang tutup lubang harus mereka terapkan.

Selama bekerja, banyak sekali resiko kerja yang hari kami hadapi. Aku sendiri pernah terkena balok di kepala saat memuat barang di dalam kontainer. Saat itu, aku sudah bekerja lebih dari 18 jam tanpa istirahat. Akibatnya kepalaku yang sobek harus dijahit sebanyak 10 jahitan. Kasus yang lain lagi saat satu kawanku tangannya tergencet oleh mesin press. Selama bekerja, tidak ada prosedur atau perangkat keselamatan yang diberikan perusahaan kepada kami.
Sejak saat itu aku mulai terganggu dengan kondisi yang terjadi di sekitarku. Kami ditindas oleh mandor, mandor ditindas oleh kepala gudang, kepala gudang ditindas oleh kepala operasional dan seterusnya. Aku perhatikan bahwa kawan-kawanku berusaha untuk hidup seiritnya. Kalau perlu hanya makan dengan lauk seadanya, yang penting karbohidrat tinggi agar bisa dibakar menjadi energi. Jangan bertanya tentang gizi, murah adalah pertimbangan yang utama. Saat dapat tips dari produsen atau konsumen, itu saatnya perbaikan gizi. Itupun kalau tidak ditilep oleh mandor atau kepala gudang.

Aku ingat satu hal yang berbekas di kepalaku saat kami ngobrol santai dan muncul ide untuk menuntut kenaikan gaji. Aku yakin, awalnya mereka tidak mau melibatkan aku dalam obrolan tersebut karena menganggap aku masih bagian dari (keluarga) perusahaan tersebut. Namun karena sudah sering bersama dan melihat bahwa aku juga sering tidak akur dengan pihak (keluarga) perusahaan sehingga mereka berubah pikiran. Rencana awalnya adalah menyampaikan permintaan (bukan tuntutan) melalui kepala gudang agar disampaikan ke kantor. Berhubung kepala gudang adalah kerabat dari pemilik akhirnya gagal. Kemudian mencoba menyampaikan melalui obrolan kepada salah satu kepala operasional yang akhirnya juga nihil. Merasa tidak ada jalan lain, akhirnya kami berencana untuk mogok kerja di saat peak season.

Entah bagaimana, rencana tersebut bocor ke pemilik perusahaan. Dia langsung datang ke gudang dan mengancam akan memecat mereka yang ikut mogok. Saat itu, beberapa kawanku langsung mengurungkan niatnya untuk ikut. Aku berusaha meyakinkan kepada mereka bahwa perusahaan yang membutuhkan kita. Tidak mungkin mendapatkan pengganti kami dalam waktu singkat yang memiliki skill pengepakan. Aku memberikan contoh salah satu perusahaan kompetitor kami yang mengalami kesulitan saat buruhnya mogok kerja.

Namun pada akhirnya niat tersebut terpaksa kami urungkan. Beberapa kawan khawatir jika mereka mogok mereka akan dipecat. Kehilangan sumber penghasilan artinya mereka akan menghadapi kesulitan lainnya. Tidak bisa dipungkiri, saat itu sangat sulit mencari pekerjaan bagi mereka yang rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar.
Entah ada kaitannya dengan rencana mogok atau tidak, tidak lama berselang aku kemudian dipindahkan ke gudang lain. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mendengar rencana pemogokan. Yang pasti, Perusahaan membuat kebijakan kenaikan upah secara berkala untuk buruh, terutama buruh yang berada di gudang, meskipun nominalnya sangat kecil dan tergantung kondisi keuangan perusahaan. Jadi, secara tidak langsung rencana tersebut juga membuat manajemen gerah. Jadi boleh dikatakan, meskipun tidak sepenuh tapi tujuan dari rencana tersebut telah tercapai.

Setelah kejadian tersebut, aku tidak pernah lagi mendengar ide tentang perbaikan nasib buruh. Aku sendiri kemudian dipindahkan kembali ke gudang, tempatku sebelumnya. Setelah itu aku ditarik ke kantor pusat untuk menjadi staff di salah satu divisi. Meskipun tidak bisa bersama-sama dengan mereka, aku sering meluangkan waktu untuk nongkrong dengan mereka saat istirahat makan siang, membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi dan bersenda gurau untuk melupakan sejenak fakta bahwa kami sedang dieksploitasi.

Sebuah Catatan

Setiap 2 Mei, hampir serikat buruh turun ke jalan untuk mengingatkan kembali kepada Negara, khususnya pemerintah bahwa masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Upah yang rendah, kondisi kerja yang tidak layak, jam kerja dan tidak adanya tunjangan merupakan beberapa masalah yang mereka perjuangkan. Sebagai pelaksana mandat negara, pemerintah seharusnya menjamin terpenuhinya hak buruh sebagai warga negara. Pemerintah juga harus memberikan perlindungan kepada buruh untuk menghindari terjadinya eksploitas yang dilakukan oleh para pemilik modal.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa perjuangan kelompok buruh merupakan perjuangan bersama. Selama masih menerima bayaran, tidak peduli posisi atau jabatannya, orang tersebut masihlah dianggap sebagai buruh. Sayangnya, segelintir ini lebih sering menyudutkan buruh sebagai biang macet atau kerusuhan saat menuntut hak. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah bagian dari kelompok buruh yang telah atau akan menjadi korban dari eksploitasi pemilik modal.

Catatan di atas menegaskan alasan mengapa buruh melawan! Selamat merayakan Hari Buruh Internasional 2012

You may also like

1 comment

edwin 02/06/2012 - 00:17

#miris bacanya.
Negri ini memang dibangun dengan kucuran darah, keringat, dan air mata. Tapi untuk siapa?!
Padamu #Buruh, Puja kusematkan….! [@winRistianto]

Reply

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy