akhirnya, selesai juga tulisan ini setelah mengendap selama 1 tahun di draft
Aku lalui masa kecil dengan cukup bahagia. Hampir semua keinginan dipenuhi oleh kedua orang tua angkatku, kecuali sepeda. Mungkin mereka peduli pada keselamatan. Maklum, ada pengalaman buruk yang menimpa ayahku. Namun, Onda dan Ma’ Onda begitu memanjakanku sehingga aku menikmati masa kecil.
Pergaulan dengan teman-teman yang beragam kelas, mulai dari kelas pekerja hingga kapitalis membuat dunia kecilku menjadi dinamis. Saat itu, mungkin persahabatan tidak mengenal kelas sehingga sekat-sekat itu tak terlihat. Kami bermain dan bergaul seolah tak ada batas.
Memahami Sulitnya Hidup
Aku pernah merasakan berjualan roti bersama temanku yang bekerja untuk menambaha biaya dan uang saku sekolahnya. Roti tersebut kami dapatkan dari pabrik roti yang berada di seberang kompleks kami. Kebetulan, anak pemilik pabrik roti yang bernama Heri adalah teman satu kelasku sehingga lebih mudah dan tentunya dapat potongan harga khusus. Setiap sore kami berkeliling komplek dengan sepeda membawa 20-30 potong roti dengan beraneka rasa. Jarang sekali dagangan kami tidak terjual habis, mungkin kami sering beruntung…Aku hanya merasakan betapa sulitnya kawanku mencoba untuk bertahan dengan kehidupannya.
Salah satu teman sepermainanku, kalau tidak salah bernama Jamaluddin, tinggal bersama ibu dan dua orang adiknya. Aku tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Katanya, sang ayah sudah tidak tahu kabarnya. Keluarganya hanya bertahan hidup dengan mengandalkan warung kecil di beranda rumahnya.
Akka, salah satu sahabat baikku bukanlah orang yang mampu. Keluarganya merupakan gambaran jelas dari kelas pekerja yang ulet; sang Ayah penarik becak, kakaknya seorang tukang bangunan dan ibunya terkadang membuat jajanan pasar yang dijajakan ke sekeliling kompleks. Akka juga sering membantu kakaknya sebagai tukang bangunan untuk mendapatkan uang tambahan. Tidak pernah sekalipun aku lihat Akka minder dalam pergaulan apalagi mengeluhkan kondisi keluarganya.
Kenakalan
Asal tahu saja, aku juga mengalami kenakalan seperti anak yang sedang menginjak remaja. Di masa ini pula, aku mulai mengenal gulungan tembakau. Awalnya mencoba rokok milik almarhum Opaku. Aku ingat betul mereknya adalah 555 dengan kemasan berwarna emas. Aku mengambil satu atau dua batang lalu kubawa tempat rahasia yang berada di dalam gorong-gorong yang tak terpakai dalam kawasan kompleksku.
Aku kemudian mulai bergaul dengan pemuda kompleks. Bolehlah mereka disebut sebagai preman di kompleksku tapi sebagai tetangga, aku tidak pernah merasa takut dengan mereka. Tentu saja, untuk diterima dalam lingkungan tersebut ada saja yang harus aku buktikan. Yang paling aku ingat adalah mencuri beberapa bungkus rokok di beberapa toko sekitar kompleksku. Sebenarnya, tindakan ini dilakukan untuk ajang pembuktian diri dari teman sebayaku agar bisa masuk ke dalam pergaulan. Namun, hal ini dimanfaatkan oleh teman-temanku yang lain. Saat selesai mengambil satu atau dua bungkus rokok, kami dengan bangganya saling memperlihatkan hasil curian kami. Setelah itu, hasil tersebut kami berikan ke teman-temanku yang lain. Sampai saat ini aku masih sering tertawa jika mengingat tingkah-polahku, mencuri rokok demi eksistensi! Begitu polosnya pikiran saat itu…
Menginjak masa remaja
Setelah lulus dari SD. Mallengkeri I, aku kemudian masuk ke SMP Negeri 3 Ujungpandang (saat ini Makassar), salah satu sekolah favorit di Makassar saat itu. Sebagai salah satu sekolah favorit, tentu saja muridnya berasal dari kalangan menengah. Berbeda dengan diriku yang masih dalah hitungan menengah ke bawah. Di masa ini, aku mulai mengenal hidup yang lebih berwarna.
Budaya bullying yang sudah laten juga terjadi di sekolah ini. Aku terselamatkan karena kakakku merupakan senior di sekolah ini dan beberapa pentolan di daerah tersebut aku kenal karena sering nongkrong bersama mereka. Ya, dengan modal beberapa batang rokok, sosialisasi dilakukan. Minuman keras mulai aku rasakan, hanya untuk membuktikan pada teman tongkrongan. Proses ini juga yang mempengaruhi perjalanan hidupku.Walaupun tidak terlalu berpengaruh pada prestasi akademik.
3 comments
hem, rupanya seorang botak punya cerita masa lalu juga ya…. (*tolong, gw jgn dijitak ya….*) pissss… 😛
memang sob dari berbagai manusia yang pernah merasakan masa remaja itu berbeda beda sehingga ya selanjutnya kembali pada kita sendiri..nice post sob
555 keren ya he he he… nemuin bungkusnya aja susah banget… rokok mahal… nilai tukarnya plg tinggi dibanding bungkus2 rokok lainnya…biasalah wkt kecil bungkus rokok khan buat mainan anak2 (saya waktu kecil tinggal di komplex, jadi rame anak2)