Home Jendela Kematian Praja IPDN, Gunung Es dalam Sistem Pendidikan

Kematian Praja IPDN, Gunung Es dalam Sistem Pendidikan

0 comment

Berita kematian Cliff Muntu, seorang praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dulunya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) aku saksikan di sebuah media elektronik swasta. Cliff, nama panggilan praja asal Sulawesi Utara, diduga tewas akibat dianiaya oleh praja seniornya, begitu kata berita. Saat menyaksikannya, terlintas sesaat nama Wahyu Hidayat, seorang praja STPDN yang juga mengalami peristiwa yang sama. Jika memoriku tidak berbohong, Wahyu Hidayat meninggal pada tahun 2003 akibat penganiayaan yang dilakukan oleh praja senior. Ya, ingatanku ternyata tidak salah, aku menulis kasus ini untuk situs komunitasku.
Berselang beberapa hari, pihak kepolisian dan hasil otopsi menyatakan bahwa penyebab kematian Cliff dipastikan akibat penganiyaan yang dilakukan sejumlah praja senior di IPDN. Walalupun beberapa hari sebelumnya, pihak IPDN mengerahkan berbagai dalih mengatakan bahwa kematian Clif disebabkan oleh penyakit lever yang dideritanya serta berbagai dalih lainnya. Saat mendengar dalih ini, aku tertawa (tanpa mengurangi rasa duka cita terhadap keluarga korban), hanya orang yang tidak mau menggunakan akal sehatnya bisa mempercayai dalih tersebut. Bagaimana mungkin, sesorang yang sakit dan tidak sadarkan diri baru dibawa ke rumah sakit setelah 7 jam ditemukan? Bekas luka dan tetesan darah di beberapa bagian tubuh korban sudah jelas menunjukkan kebohongan tersebut. Yang ajaib, pihak IPDN bahkan ditenggarai telah menyuntikkan formalin (cairan pengawet) ke tubuh korban untuk memperkuat dalih tersebut.
Kematian Cliff Muntu seakan membelalakkan mata banyak orang, termasuk Presiden kita bahwa kekerasan masih menjadi satu metode yang paling “favorit” di sistem pendidikan kita, khususnya akademi atau lembaga pendidikan kedinasan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa kita membutuhkan satu kematian untuk membuktikan ketidakberesan dalam sistem pendidikan kita? Apakah selama peritiwa yang terjadi di lingkungan kita belum memberikan gambaran yang jelas? Atau kita memang bangsa yang reaksioner, menunggu terjadi satu permasalahan lalu kemudian menanggapainya?
Saat ini, hampir semua pihak melemparkan kesalahan kepada praja yang menjadi tersangka dan pimpinan IPDN. Mulai dari mahasiswa hingga kelompok pengamen jalanan bereaksi dengan turun ke jalan. Mereka mendesak IPDN dibubarkan, rektor IPDN mundur dan seterusnya. Sayang sekali, sangat sedikit yang bersuara tentang perbaikan sistem pendidikan kita yang cenderung menjadikan murid sebagai obyek, bukan sebagai subyek dari pendidikan.
Aku bertanya kemudian, apakah jika IPDN dibubarkan, masalah yang dihadapi akan selesai? Apakah jika rektornya turun, maka tidak akan ada kekerasan lagi di sana? Aku harus menjawab dengan pesimis, TIDAK! Sebelum dilakukan revolusi sistem pendidikan, kekerasan akan terus berlanjut!
Jika kita mau jujur, Cliff hanyalah salah satu korban yang menjadi korban dari tindak kekerasan yang dilakukan dalam sistem pendidikan kita. Ibarat fenomena gunung es, saat ini, tewasnya Cliff hanya puncak gunung es yang terlihat sementara begitu banyak kasus lainnya yang tidak tampak dari permukaan. Alih-alih ingin membangun kedisiplinan, kekerasan menjadi rantai kekerasan di masyarakat.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy