Beberapa hari ini, seorang keponakanku begitu gelisah. Saat ini, dia adalah salah satu siswa kelas 3 di sebuah SMU Negeri di bilangan Jakarta Selatan. Wajar saja, dia akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) pada hari ini. Ujian ini merupakan tahap akhir yang menentukan apakah dia akan lulus atau tidak setelah belajar selama 3 tahun di SMU. Terdapat 3 mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika. Tahun lalu, nilai 4,75 setiap mata pelajaran adalah nilai minimal untuk kelulusan. Tahun ini, meningkat menjadi 6.
Beberapa masalam sebelumnya, dia sempat menyampaikan kegelisahannya kepadaku. “Om, kaya’nya susah banget soalnya, bisa lulus nggak ya” ujarnya dengan wajah yang gusar. Menurutnya, dari 14 soal yang minimal harus benar, dia hanya hanya mampu mengerjakan sebanyak 12 soal. Artinya, dia masih kurang dua soal. Itupun kalau jawabannya benar. Dia tidak berhenti memintaku untuk mendoakannya agar bisa lulus dalam UAN. “Iya” jawabku untuk membuatnya tenang padahal sudah 5 tahun aku tidak pernah berdoa…
Aku teringat pada adik angkatku, tahun lalu dia tidak lulus UAN. Hasil ujian mata pelajaran mate-matika-nya tidak memenuhi nilai minimum, walaupun dua mata pelajaran lainnya di atas rata-rata. Adik angkatku ini tidak sendiri, banyak sekali pelajar yang tidak lulus. Mayoritas karena gagal di Matematika dan Bahasa Inggris. Ibu angkatku, yang juga tanteku begitu sedih dan khawatir saat mengetahui hal ini. Dia bahkan tidak mau memberitahukanku kalau adikku tidak lulus. Aku baru mengetahuinya setelah pulang ke Makassar.
Pagi ini, sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok aku menyaksikan berita pagi di beberapa stasiun televisi, selain berita tentang kekerasan di Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) dan Korban Lumpur Lapindo, berita tentang UAN menjadi topik yang menarik untuk aku ikuti. Isi beritanya hampir seragam, pengamanan soal UAN yang akan dilaksanakan pagi ini. Hmm… aneh, penjagaan yang begitu ketat untuk mengamankan cocornya soal UAN menjadi headline. Apakah aparat negara melihat mental pelajar kita sebagai maling sehingga mereka harus menjaganya sedemikian rupa?
Saat UAN diberlakukan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 017/U/2003, aku adalah salah seorang yang menolaknya. Mungkin pada awalnya, alasan penolakanku sangat sederhana; kebijakan ini terburu-buru dan tidak dipersiapkan dengan baik, bagaimana mau melakukan standarisasi pendidikan nasional jika melihat kenyataan pada saat itu? Tanpa bermaksud melihat lebih rendah, jelas, kita tidak bisa mensejajarkan kualitas pendidikan di Jakarta sama dengan di sebuah kecamatan di Papua.
Kekehawatiranku akhirnya terbukti, banyak siswa yang tidak memenuhi nilai minimum saat itu. Kepanikan para pelajar dan orang tuanya meledak. Rata-rata dari mereka belum mengetahui UAN. Gelombang penolakan dan protes kemudian bermunculan. Alih-alih mengakui kesalahannya, pemerintah kemudian membuat satu formulasi penghitungan yang membingungkan untuk meluluskan para siswa.
Koalisi Pendidikan, salah satu kumpulan LSM dan individu yang peduli masalah pendidikan kemudian mengeluarkan beberapa laporan dan hasil penelitian yang kemudian makin memperkaya alasan penolakanku.
Coba pikir dengan sederhana, bagaimana membuat standarisasi mutu pendidikan nasional kalau tidak dibarengi dengan perbaikan mutunya? Coba kita lihat kutipan UU Sistem Pendidikan Nasional tentang standar nasional pendidikan dalam pasal 35:
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Syarat utama untuk melakukan itu adalah pemerataan secara keseluruhan! Boro-boro merata, anggaran pendidikan yang sudah di atur oleh UUD sebesar 21 persen saja tidak jalankan. Bagaimana mau melakukan pemerataan?!
Untuk mendapatkan sekolah dengan mutu yang lebih baik sama berbanding lurus dengan biaya yang mahal. Menurut salah seorang temanku yang mempunyai anak yang duduk di bangku setingkat SD, dia memilih sebuah sekolah internasional karena mutunya. Kompensasinya, biaya jutaan rupiah harus dia keluarkan setiap bulannya diluar uang masuk yang mencekik. Walhasil, jika logikanya demikian, orang kere harus siap dilarang bersekolah! Padahal pemerintah punya tanggung jawab kepada warga negaranya untuk menjamin pendidikan. Coba, anda baca di konstitusi, jelas! Tapi bukan berarti dijalankan…
Yang harus disadari adalah masalah kompetensi dari setiap siswa yang berbeda-beda. Adikku memang tidak lulus karena nilai mate-matikanya 4,25. Akan tetapi, nilai bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di atas rata-rata. Tidak semua orang punya kepandaian secara merata pada satu ketiga mata pelajaran tersebut. Salah satu contohnya, salah seorang peraih mendali olimpiade fisika tidak lulus UAN karena tidak mencapai nilai minimum di bahasa Inggris.
Selain itu, aku tidak melihat alasan yang cukup kuat untuk memasukkan mata pelajaran bahasa Inggris sebagai salah satu bahan ujian? Apa alasannya? Mungkin karena bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan internasional. Atau karena syarat untuk bekerja telah menuntut bahasa Inggris? Mengapa bukan mata pelajaran lain, ilmu sosial misalnya? Aku harus mencari tahu lebih jauh tentang masalah ini. Benar-benar membuat aku penasaran. Mengapa kita semakin “terjajah” melalui bahasa?
Saat ini aku masih tertegun, mengingat sampai saat ini upaya advokasi terhadap permasalahan ini seperti angat-angat tai ayam. Protes dan penolakan baru bermunculan setelah peristiwa ini terjadi lagi. Padahal, masalah ini akan terus muncul setiap tahun!
Pukul 6, di pagi buta, keponakanku berangkat menyongsong UAN dengan gelisah. “Semoga saja dia bisa melewatinya” gumamku
431
previous post