Satu saat, saat hari beranjak menuju malam, aku menikmati hidangan makan malam di sebuah warung kecil. Di sebelahku terdapat beberapa orang pemuda yang sedang ngobrol tentang pemilu kali. Seru sekali tampaknya, sepertinya mereka adalah simpatisan salah satu partai politik yang akan beradu di awal bulan ini. Pikirku, bulan ini pasti banyak pabrik kecap yang laku keras soalnya semua partai jual “kecap”.
Mataku terantuk pada sebuah pesawat televisi di pojok ruangan warung tersebut. Makanan yang ku pesan belum juga tiba, sementara beberapa pemuda tersebut sudah diam menikamti makanannya. Obrolan mereka terhenti saat melihat iklan salah satu partai politik. Setelah melihat iklan tersebut, mereka kembali “berisik” membicarakan betapa hebatnya idola mereka. Aku kemudian berpikir sendiri sambil menunggu makananku. Aku bertanya, apakah mereka tidak tahu siapa yang menjadi idola mereka.
Peristiwa ini kerap kali ku temui, di pelosok gang, pojok mikrolet dan di tengah sesaknya metromini bahkan sampai ke ruang kamar tidur. Masa kampanye untuk PEMILU 2004 ini seolah menjadi ajang promosi satu produk yang belum kelihatan. Hampir semua partai menjanjikan banyak hal, mulai dari masalah ekonomi, politik, pendidikan, dan banyak macam lagi. Mereka yang menjadi sedang bersaing untuk menjadi penguasa-penguasa kecil menjadi fasih mengucapkan janji yang manis.
Hamburan kata-kata indah teruntai menjadi satu omong kosong yang tidak dapat di jamin keluar dari mulut mereka. “Pilihlah saya, maka negeri ini akan aman!” ucap salah seorang capres.
Ada apa ini? Dia yang sampai saat ini dicurigai merencanakan sebuah kerusuhan bisa berbicara seperti. Bahkan, dia sudah terbukti terlibat dalam penculikan beberapa aktifis pro-demokrasi bisa berbicara seperti itu. Tak habis pikir aku dibuatnya! Lama ku pikir, ku timang, ku pandang, betul juga apa yang dia bilang, negara ini bisa menjadi “aman” apabila semua warga negara hidup di bawah ketakutan. Masih ingat rasanya, aku tidak boleh berbicara sepatah katapun tentang keburukan satu rejim. Salah sedikit, beruntung kalau masih dipenjara, bagaimana kalau hilang tanpa jejak?
Lain lagi, yang kubaca sebuah spanduk yang terbentang di bilangan Kalibata. “Kalau mau pendidikan dan kesehatan murah, cobloslah saya” begitu yang tertulis di spanduk tersebut. Bagus juga capres ini, dari sekian banyak janji yang sedikit lebih baik tapi usut punya usut kata-kata itu menjadi aneh? Bagaimana mungkin pendidikan dan kesehatan menjadi murah padahal subsisi untuk rakyat di terus dicabut? Desakan negara-negara donor yang punya modal kuat tidak mungkin ditolak oleh indonesia. Utang negara kita yang tercinta ini kepada mereka kira-kira 94 triliun. Itu uang, bukan hanya kertas biasa tapi dana yang telah dihabiskan oleh orde baru untuk kepentingan mereka sendiri dan kita yang harus menanggungnya. Oh iya, aku baru teringat bahwa dia-si pencetus spanduk itu- merupakan salah satu penikmat dana tersebut.
“Siapa yang anti-reformasi dan korupsi bukan kader partai saya!” teriak lantang seorang juru kampanye (jurkam) di sebuah lapangan. Sebelumnya seorang penyanyi dangdut dengan goyangan tampil menghibur para simpatisan yang seolah tidak sabar menanti janji manis dari jurkam impian mereka. Mungkin karena tidak sabarnya, mereka sedikit demi sedikit pulang saat jurkam tersebut akan memulai penjualan kecap-nya. Kuperhatikan jurkam itu siapa, kulihat lebih dekat. Bukankah dia baru-baru ini terlibat dalam kasus korupsi tetapi berkat “lindungan” sang penguasa dia bisa bebas dari jerat hukum.
Entah mengapa, aku kemudian berpikir, Kampanye ini “berhasil” menunjukkan kebusukan mereka sendiri. Mungkin terlalu cepat mengatakan itu, setidaknya saat ini. Tapi aku tidak sendiri, banyak orang yang mempunyai pemikiran yang sama denganku, mungkin juga anda yang sedang membaca ini. Tapi kalau berbeda juga, tidak menjadi masalah bukan?
Pagi itu, aku membaca sebuah harian umum. Ku buka lembar demi lembar sambil menikmati kopiku yang mulai dingin. Mataku menatap sebuah foto dengan keterangan “para tukang becak menagih janji uang dari partai X yang belum dibayar”. Kubaca lebih lanjut beritanya. Ternyata tukang becak itu meminta bayaran yang dijanjikan oleh partai tersebut untuk ikut berkampanye. Besarnya lumayan juga, 25 ribu rupiah. Seorang temanku pernah bercerita tentang seorang kawannya di bilangan Jakarta Utara. Dia pernah dijanjikan sejumlah uang untuk menjalankan kampanye salah satu parpol yang terkenal cukup kaya raya. Ternyata, dia memanfaatkan dengan baik tawaran itu dengan menjadikannya sebagai lahan “pekerjaan”. “Lumayan, cuman duduk diatas mobil dapat 25 ribu” ujarnya. Akhirnya dia sibuk setiap hari mencari makelar yang mau membayarnya berkampanye. Temanku pernah bertanya kepada temannya tersebut, “lalu, nanti kalau pemilu, kamu coblos apa?”. “Itu urusan gue dong, kalau sekarang mah yang penting duitnya saja kita makan”. Pragmatis, itu yang langsung muncul dikepalaku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa itu kurang tepat atau tepat. Imbasnya nanti akan terasa pada gerak masyarakat sehari-hari.
Ah…. Nanti saja aku akan lanjutkan. Kopiku sudah dingin, rokok di tangan sudah mulai terasa panas. Sudah saatnya aku ke beranda rumah yang sepi…