Di saat pesta “etalase” demokrasi telah berlangsung, kepenatan di kepala setelah 3 hari bergelut dengan script dan podcast semakin memuncak. Ditambah dengan berbagai persoalan yang hanya dapat terekam dalam memori semakin membuat badan menjadi penat. Waktunya untuk keluar! Kuajak temanku, Azizah untuk mencari tempat nongkrong untuk sekedar melepas beban. Dia kemudian memilih Monas!
Kami kemudian mengajak beberapa teman lain, Shera dan pacarnya untuk ikut ke sana. Kami berempat kemudian menuju ke Monas dengan perbekalan yang memadai. Enam kaleng bir, beberapa potong sandwich dan cadangan rokok menjadi sangu kami.
Terakhir aku ke Monas pada tahun 2000. Tentu saja sudah banyak perubahan yang terjadi. Selama ini aku hanya mengikuti perkembangan salah satu taman kota Jakarta dari media massa. Mulai dari pemugaran, perbaikan beberapa fasilitas di taman kota hingga gagalnya menaruh rusa tutul di kawasan tersebut. Yang menjengkelkan adalah Monas kemudian dipagari dengan alasan demi keindahan. Padahal, tanpa pagar pun Monas sudah indah untuk dinikmati. Justru pagar tersebut menghilangkan fungsi ruang publik Monas.
Tepat pukul 12 malam, kami sampai di sana. Ada pemandangan yang tidak biasa yang kutemui saat masuk di gerbang Monas. Polisi berada di sekitar pinta masuk. Tampak dua tronton dan satu mobil water canon di sebelah kanan pintu masuk serta dua tenda peleton di sebelah kiri. Beberapa polisi dan tentara tampak santai di depan tenda tersebut. Entah apa yang mereka kerjakan, tampaknya mereka bercengkrama dengan rekan sejawatnya. Mungkin mereka bagian dari pasukan yang disiagakan dalam rangka pengamanan pemilu.
Kami kemudian memilih untuk di duduk di plaza sebelah selatan. Sambil duduk, aku memperhatikan perubahan Monas. Memang benar, kawasan Monas sekarang tampak lebih indah. Pohon yang tertata dengan baik dan taman yang tampak segar. Sayangnya, pagar yang mengelilingi Monas sangat mengganggu pemandangan.
Dalam bayanganku, teringat tentang kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok korban dan keluarganya setiap Kamis di salah satu bagian wilayah ini, tepatnya di depan Istana Merdeka. Mereka selalu berkumpul melakukan aksi diam untuk menuntut penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Tiba-tiba memoriku teringat pada peristiwa 1 Juni 2008 saat Front Pembela Islam (FPI) menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang saat itu sedang merencanakan aksi. Aku coba merekonstruksi peristiwa tersebut; bagaimana FPI memukuli sahabatku, membayangkan wajah ketakutan dari para ibu yang berada di sana serta teriakan atas nama Tuhan yang meng’halal’kan kekerasan.
Saat menegok ke kanan, kulihat gedung Pertamina. Hmm.. dari gedung inilah kepanikan bangsa Indonesia dapat dilakukan. Dengan menaikkan 10% harga bahan bakar minyak, seluruh lapisan bawah masyarakat Indonesia terkena dampaknya. Seperti efek domino, semuanya akan terkena dampaknya.
Dibelakangku, tampak gedung Gubernur DKI Jakarta. Sebuah gedung yang menjadi pusat pemerintahan dan pelayanan bagi masyarakat DKI Jakarta. Sayangnya, itu masih menjadi mimpi bagi warga Jakarta. Justru dari gedung ini perintah untuk melakukan penggusuran dibuat.
Sambil menikmati hembusan angin malam dan sebatang tembakau, kuperhatikan tingkah polah manusia urban. Jam sudah menunjukkan angka 1 tapi Monas tetap saja ramai. Tampak beberapa orang sedang bermain bola. Dibelakangku ada sekumpulan remaja, yang sepertinya berasal dari satu daerah sedang bermain. Aku juga tidak tahu permainan apa, tapi sepertinya mereka sangat menikmatinya. Beberapa pedagang kopi melintas dan menawarkan dagangannya. Beberapa pasangan tampak sedang menikmati malam dengan berjalan atau mencari tempat untuk bercengkrama.
Sayangnya, malam itu masih kenyamananku sempat terusik dengan banyak motor yang bersileweran di Monas. Mereka menjalankan motor mereka dengan kecepatan tinggi. Sangat menganggu! Seolah-olah hanya mereka yang memiliki tempat tersebut. Yang jadi pertanyaan, mengapa mereka bisa masuk dan dibiarkan begitu saja? Padahal sudah jelas mereka mengganggu.
Malam sudah bergulir ke dinihari. Monas tampak sepi. Sudah belasan tahun aku tinggal di ibukota ini, namun baru dua kali aku menginjakkan kaki ke Monas. Hanya di saat untuk melepaskan penat…
549
previous post